Nyaris sepanjang usia, tak pernah kami mencerap datangnya hujan sebagai peristiwa penuh makna yang suatu ketika sangat kami harap tercurah.
Karena kami merasa bukan seperti petani dengan hamparan tanaman padi yang menggantungkan kelangsungan hidup pada tercukupinya air di petak-petak sawah.
Kami pun bukan bagian dari kawanan katak yang hanya bisa bernyanyi dan berlompatan dengan gembira dalam genangan air yang melimpah.
Hingga saat kami mendapati sebuah kenyataan, kemarau musim ini benar-benar mengerontangkan tandon-tandon air yang tersembunyi di kedalaman tanah maupun yang terpasang di atas menara.
Kekeringan yang berlarat-larat menyatukan orang-orang dengan ember dan jeriken bersabar memutari sumur artesis menanti tetesan air yang tak banyak bersisa.
Musim panas tahun ini tak cepat berlalu, memaksa manusia yang biasanya menyiram apa saja tanpa kira-kira menjadi banyak berhitung sebelum menumpahkan air walau seciduk saja.
Dan hujan yang mengguyur tanah kami di awal November telah meyakinkan kami bahwa setiap yang dilimpahkan-Nya tidaklah sia-sia.
Kami menyaksikan titik-titik air dari langit-Nya kembali mengaliri pipa-pipa bawah tanah menuju rumah-rumah warga.
Kami pun menjumpai bak-bak penampungan dan tempat-tempat penyimpanan di kediaman kami mulai terkucur air bersih setelah timpas sekian lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H