Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Pahit dan Manisnya Bahasa Jawa

24 Oktober 2018   12:49 Diperbarui: 24 Oktober 2018   21:01 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Mohammad Ayudha/Antara)

Sempat terlintas dalam benak saya bahwa bahasa ibu saya, yakni bahasa Jawa, cukup menyulitkan kehidupan saya. Bagaimana tidak? Bahasa Jawa itu rumit sekali. 

Bahasa ini mengenal tiga tingkatan bahasa yang umum, yakni basa ngoko, basa madya dan basa krama. Ada juga yang menambahkan basa kedaton. Selain tingkatan-tingkatan itu, masih terdapat beberapa sub tingkatan atau variasi pada masing-masing jenjang. Secara keseluruhan mencapai belasan variasi.

Penggunaan masing-masing tingkatan dan variasi ada aturannya dan hampir setiap kata memiliki padanan dalam setiap level bahasa. Membayangkan jumlah kosa kata dan memikirkan tingkatan bahasa yang akan digunakan saja sudah membikin jidat mumet alias pusing.

Tingkatan dalam bahasa Jawa acap kali menimbulkan kebingungan. Bicara sama orang tua sangat berbeda dengan bercakap dengan teman sebaya. Apalagi berucap kepada seorang raja. Ada unggah-ungguh-nya.

Sebagai manusia keturunan Jawa tulen, tentu kehidupan saya tak bisa lepas dari interaksi dengan bahasa yang pengguna utamanya berada di daerah Jawa bagian tengah dan timur ini. Cukup banyak pengalaman dalam bertutur dalam bahasa Jawa mengikuti perjalanan hidup saya. Beberapa pengalaman berbahasa Jawa agak kurang mengenakkan.

Salah satu pengalaman kurang nyaman disebabkan bahasa Jawa terkesan menimbulkan jarak di antara para penuturnya. Sesuai pakemnya, seorang anak yang berbicara kepada orang tua dan orang yang dituakan harus menggunakan tingkatan basa krama. Semasa saya masih sebagai bocah yang tinggal di sebuah dusun di pelosok Jawa Tengah, "aturan" ini tak menimbulkan masalah. 

radisi masyarakat di kala itu memang kentara sekali bertingkat-tingkat. Lha wong sekarang ini zaman milenial. Mengharapkan anak-anak era gawai bertutur kata "inggah-inggih" semacam itu ibarat menegakkan benang basah. Saya pun sudah sering canggung bila harus mengucap kalimat krama inggil.

Masih terkait dengan tema ini, seringkali saya bimbang harus menggunakan strata bahasa yang mana saat menghadapi orang baru yang masih setara dalam usia. Sebuah judul film jadul Warkop DKI "Maju Kena Mundur Kena" bisa menggambarkan dilema yang sering saya hadapi. 

Jika saya berbicara menggunakan level bahasa Jawa kasar alias ngoko, saya ragu apakah orang baru bisa menerimanya dengan lapang dada. Sebaliknya, bila saya berbahasa krama, sudah pasti jurang pemisah langsung terbentang di antara kami. Baru mau mulai bicara saja sudah bingung.

Pengalaman lain menunjukkan bahwa bahasa Jawa pernah menimbulkan stress. Anak-anak saya sempat merasakan tekanan berat menyangkut penggunaan bahasa Jawa. Anak-anak lahir dari rahim seorang ibu yang "berkebangsaan" Sumatera. 

Mereka pun hadir pertama kali ke dunia fana ini dan tumbuh besar di luar pulau Jawa. Maka, bahasa sehari-hari yang mereka dengar dan mereka ucapkan sejak lahir hingga usia sekira delapan hingga sepuluh tahun adalah bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa dan logat daerah setempat.

Dengan latar belakang demikian, mereka cukup kesulitan dan sempat mengungkapkan rasa tersiksa saat harus masuk tanah Jawa dan wajib mempelajari bahasa Jawa di sekolah mereka. Maka, di awal interaksi mereka dengan pelajaran Basa Jawa, rapor mereka hampir selalu berhiaskan angka berwarna merah.

Namun demikian, di balik kesulitan bertutur kata dalam bahasa Jawa, saya menemukan hal menarik dari bahasa yang diikuti lebih dari 84 juta penutur ini (Sindonews.com). Salah satu keunikan bahasa Jawa terletak pada kekayaan kosa katanya. Untuk menyebut sebuah benda, adakalanya bahasa Jawa mempunyai lima atau enam kata, bahkan lebih.

sumber: https://siudy.net
sumber: https://siudy.net
Sebagai contoh, kata mangan yang berarti makan. Mangan merupakan istilah standar. Dalam bahasa Indonesia, siapa pun dan dalam kondisi apa pun, situasi orang memasukkan makanan ke dalam tubuhnya melalui mulutnya disebut makan. Dalam bahasa Jawa variasi kata mangan amat beragam. Mulai dari yang paling halus hingga yang sangat kasar.

Bila orang tua kita atau orang yang kita hormati makan, kita wajib menyebutnya dhahar. Saat kita mengabarkan orang yang sebaya dengan kita sedang makan, untuk menentukan istilah yang pas bagi kata "makan", kita masih harus melihat dulu kepada siapa kita menyampaikan kabar ini. 

Jika kita bicara dengan orang yang sebaya, kita bisa menyebutnya dengan kata mangan atau madhang, namun bila yang kita kabari orang tua, maka kita harus menghaluskan kata mangan itu dengan nedha. 

Dalam situasi marah misalnya, kadang-kadang orang mengungkap kata mangan dengan istilah yang amat kasar semacam mbadhog, nyekek atau nguntal.

Keunikan lainnya, bahasa Jawa mempunyai banyak kosa kata yang amat sulit dicari padanannya dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia. Sebut misalnya kata "mingklik-mingklik". 

Saya tidak berhasil menemukan padanan kata itu dalam bahasa Indonesia. Untuk menyampaikan makna kata ini dalam bahasa nasional kita, kita harus menyatakannya dalam sebuah uraian yang lumayan panjang. 

Mingklik-mingklik adalah suatu situasi ketika seseorang dalam posisi berdiri pada ujung sebuah benda, misalnya kursi, dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh.

Ada juga kelucuan yang tercetus karena kebiasaan orang Jawa yang hobi menambahkan huruf "m" di depan kata yang berawalan huruf "b". Memang ada kata-kata yang demikian, seperti mboten (tidak), mbenjang (besok), dan lain-lain. Namun kebiasaan itu menjadi kebablasan hingga merambah ke mana-mana dan memunculkan istilah-istilah yang ganjil semacam mBandung, mBali, mBantul, mBorombudur dan sebagainya.

Membincang bahasa Jawa mengingatkan saya akan masa sekolah dulu. Periode sekolah menandai pelajaran bahasa Jawa sebagai pelajaran kelas pinggiran. Salah satu ungkapan yang bernada merendahkan mata pelajaran ini adalah tatkala orang menyatakan mata pelajaran Basa Jawa dengan sebutan "pelajaran Bahasa Jerman" dengan mimik menahan tawa.

Di balik beberapa kondisi tak nyaman itu, bahasa Jawa tetap memegang peranan vital. Ia masih duduk di singgasana tertinggi sebagai bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia.

Semoga bahasa Jawa dan juga bahasa-bahasa daerah lainnya di seluruh pelosok negeri ini tetap bisa mewarnai kekayaan budaya bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun