Dengan latar belakang demikian, mereka cukup kesulitan dan sempat mengungkapkan rasa tersiksa saat harus masuk tanah Jawa dan wajib mempelajari bahasa Jawa di sekolah mereka. Maka, di awal interaksi mereka dengan pelajaran Basa Jawa, rapor mereka hampir selalu berhiaskan angka berwarna merah.
Namun demikian, di balik kesulitan bertutur kata dalam bahasa Jawa, saya menemukan hal menarik dari bahasa yang diikuti lebih dari 84 juta penutur ini (Sindonews.com). Salah satu keunikan bahasa Jawa terletak pada kekayaan kosa katanya. Untuk menyebut sebuah benda, adakalanya bahasa Jawa mempunyai lima atau enam kata, bahkan lebih.
Bila orang tua kita atau orang yang kita hormati makan, kita wajib menyebutnya dhahar. Saat kita mengabarkan orang yang sebaya dengan kita sedang makan, untuk menentukan istilah yang pas bagi kata "makan", kita masih harus melihat dulu kepada siapa kita menyampaikan kabar ini.Â
Jika kita bicara dengan orang yang sebaya, kita bisa menyebutnya dengan kata mangan atau madhang, namun bila yang kita kabari orang tua, maka kita harus menghaluskan kata mangan itu dengan nedha.Â
Dalam situasi marah misalnya, kadang-kadang orang mengungkap kata mangan dengan istilah yang amat kasar semacam mbadhog, nyekek atau nguntal.
Keunikan lainnya, bahasa Jawa mempunyai banyak kosa kata yang amat sulit dicari padanannya dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia. Sebut misalnya kata "mingklik-mingklik".Â
Saya tidak berhasil menemukan padanan kata itu dalam bahasa Indonesia. Untuk menyampaikan makna kata ini dalam bahasa nasional kita, kita harus menyatakannya dalam sebuah uraian yang lumayan panjang.Â
Mingklik-mingklik adalah suatu situasi ketika seseorang dalam posisi berdiri pada ujung sebuah benda, misalnya kursi, dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh.
Ada juga kelucuan yang tercetus karena kebiasaan orang Jawa yang hobi menambahkan huruf "m" di depan kata yang berawalan huruf "b". Memang ada kata-kata yang demikian, seperti mboten (tidak), mbenjang (besok), dan lain-lain. Namun kebiasaan itu menjadi kebablasan hingga merambah ke mana-mana dan memunculkan istilah-istilah yang ganjil semacam mBandung, mBali, mBantul, mBorombudur dan sebagainya.
Membincang bahasa Jawa mengingatkan saya akan masa sekolah dulu. Periode sekolah menandai pelajaran bahasa Jawa sebagai pelajaran kelas pinggiran. Salah satu ungkapan yang bernada merendahkan mata pelajaran ini adalah tatkala orang menyatakan mata pelajaran Basa Jawa dengan sebutan "pelajaran Bahasa Jerman" dengan mimik menahan tawa.