Apakah Anda sering mengatakan "Ya" padahal hati kecil berkata "tidak"? Dulu saya punya kecenderungan seperti itu. Dampak yang ditimbulkannya bisa sangat merugikan.
Saya memiliki beberapa contoh peristiwa yang terjadi belasan tahun silam. Sebagian masih menyisakan kenangan buruk hingga kini.
Saya pernah punya sebuah akun asuransi yang tidak saya inginkan. Akun itu saya peroleh karena saya sulit bilang "tidak" kepada agen asuransi yang menawarkan produk mereka melalui telepon kepada saya.
Sebetulnya saya sudah menolak, namun para penjual itu bagai belut berpelumas. Dengan bersenjatakan telepon dan mesin perekam, mereka amat lihai menyusup lewat celah sekecil apa pun hingga berhasil mendapatkan kata "ya".
Di gudang saya masih tersimpan seperangkat sound system ringan yang nyaris tidak pernah saya gunakan. Saya mendapatkannya di sebuah mal kala saya mencari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan alat pengeras suara itu.
Saat itu sekelompok sales person mencegat langkah saya dan "mengeroyok" saya dengan berbagai jurus bujukan maut mereka. Seketika lidah saya menjadi kelu hingga tak mampu menyuarakan kata hati yang ingin menyingkir dari bujuk rayu mereka.
Dua contoh di atas menunjukkan sulitnya mengatakan "tidak" yang berdampak buruk pada sisi materi. Kerugian lain yang bersifat sosial bisa lebih dahsyat lagi.
Sebut misalnya, suara bising knalpot motor anak remaja saya akan mengganggu tetangga bila saat itu saya tidak bilang "tidak" atas kreativitas modifikasi motor yang kebablasan.
Waktu saya pastinya akan banyak tersedot untuk melayani obrolan yang (mungkin) tak bermanfaat dan tak mengenal waktu seandainya saya mengiyakan semua undangan masuk grup whatsapp beberapa teman.
Bayangkan kerepotan kita bila kita selalu bilang "ya" kepada anak-anak kita tatkala mereka merengek-rengek minta jajan sembarangan.
Coba khayalkan akibat buruk balita yang minta gawai di usia yang masih amat belia, dan orang tua tidak mampu menolaknya.