Penyesalan yang terjadi beberapa hari menjelang Idul Fitri hampir selalu kami hadapi. Ia pun telah menjelma menjadi sebuah alur yang berputar membentuk siklus tahunan. Alur itu menyangkut kebiasaan membeli pakaian untuk keperluan hari raya Idul Fitri pada injury time menjelang berakhirnya Ramadhan.
Berkaca pada peristiwa terdahulu, menjelang Ramadhan tahun ini saya dan istri sudah berikrar bahwa kami akan memenuhi kebutuhan pakaian untuk keperluan hari raya Idul Fitri---khususnya untuk anak-anak kami---jauh-jauh hari sebelum hari-H Idul Fitri. Bila perlu kami akan melakukannya sebelum Ramadhan tiba. Jadi sebenarnya kesadaran akan kebutuhan sandang Idul Fitri sudah kami dapatkan sejak sebelum tibanya bulan suci.
Tetapi ternyata merealisasikan tekad tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kesadaran yang sudah muncul tidak segera disambut dengan tindakan nyata. Memasuki hari ke 26 Ramadhan, dalam kondisi fisik yang lumayan lunglai karena tengah menjalani puasa, kami baru 'turun lapangan' berburu baju Lebaran. Â Maka, kerepotan sudah menghadang kami sejak mau memasuki areal parkir hingga meninggalkan tempat itu.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan beberapa lembar pakaian menjadi beberapa kali lipat dibandingkan biasanya. Kerumunan orang hampir di semua tempat menyebabkan ada tambahan waktu untuk mencari tempat parkir, berdesakan memilih-milih baju, menunggu giliran masuk kamar pas dan tentunya mengikuti dengan sabar antrean nan panjang di depan kasir.
Nasi sudah menjadi bubur (lagi). Yang bisa kami upayakan adalah minimalisasi kehilangan waktu-waktu utama untuk ibadah. Kami menghindari belanja sore hingga malam hari agar tak ketinggalan buka puasa di awal waktu serta jamaah Magrib, Isya dan Tarawih di musala.
Kami pun masih memiliki cukup energi untuk begadang dengan berbagai aktivitas mengharap limpahan berkah di malam istimewa itu. Maka, pagi hari menjadi pilihan paling logis untuk menunaikan 'kewajiban' belanja Lebaran.
Keterlambatan tindakan yang berbuah penyesalan tersebut menimbulkan tekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang. Maka, kami segera berikrar untuk tidak mengulanginya pada Ramadhan tahun berikutnya (semoga Allah mengizinkan kami menemui Ramadhan tahun mendatang).
Namun, akankah tekad itu bisa terwujud? Atau siklus tahunan akan datang lagi menghampiri kami? Tentu kami tak bisa menjawabnya saat ini.
Sebetulnya apa sih yang bikin alur terus berulang? Kesimpulan yang saya dapatkan berdasarkan identifikasi masalah yang telah saya lakukan ternyata biang keroknya adalah penyakit kronis suka menunda. Penyakit yang satu ini sungguh akut. Sudah tahu dampak buruk akan datang menimpa, namun tetap saja jalan terus.
Ada dua alasan orang suka menunda. Alasan pertama, orang menunda sesuatu karena memikirkan hasil yang akan diperolehnya bakal tidak bagus sehingga menjadi pesimis. Yang kedua, orang menunda action karena mengkhawatirkan segala sesuatu yang buruk mungkin akan muncul di belakang hari.
Sikap pesimis merupakan buah dari kecemasan akan penilaian orang atas karya atau upaya yang kita hasilkan. Fokus kepada orang lain, lebih-lebih bayangan penilaian buruk orang, menyebabkan keyakinan yang sebelumnya telah muncul bisa nyungsep lagi.