Pada momen Hari Buku Nasional ini, saya mencoba mengingat kembali pengalaman belasan tahun mengupayakan budaya baca buku di rumah kami. Saya sangat bersyukur bahwa kami--saya dan istri-- lumayan mencintai buku. Sejak sebelum menikah, kami telah membayangkan bahwa suatu saat kelak kami akan menjadikan salah satu sisi rumah kami sebagai perpustakaan keluarga.
Memang belum sampai tahap "gila" membaca, tapi kehidupan rumah tangga kami tak pernah lepas dari si jendela dunia itu. Buku menjadi salah satu referensi kami menghadapi berbagai persoalan hidup. Melihat besarnya manfaat buku, maka kami pun bertekad agar keturunan kami juga memiliki perasaan sama terhadap buku.
Dalam tulisan ini, saya akan menceritakan upaya kami "menggiring" anak-anak kami untuk dekat dengan buku dan menjadikan membaca buku sebagai salah satu kegiatan yang mereka sukai. Karena tulisan ini cukup panjang, saya membaginya menjadi beberapa bagian. Dan ini adalah bagian pertama.
Menghimpun Ilmu Sebelum Beraksi
Tidak ada pola atau strategi khusus yang kami terapkan untuk menggapai cita-cita kami tersebut. Namun sambil mengingat-ingat kisah masa lalu, saya mencoba memformulasikan beberapa langkah yang telah kami jalani.
Langkah pertama adalah menghimpun ilmu yang cukup sebelum memulai aksi. Sebab amal tanpa dasar ilmu yang cukup justru bisa merusak alih-alih memperbaiki. Hal itu disampaikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, "Barang siapa yang beramal tanpa disertai ilmu, maka amalnya lebih banyak merusak daripada memperbaiki."
Meminjam kalimat orang sibuk "disebabkan keterbatasan waktu", kami memilih buku sebagai sumber ilmu yang bisa kami akses setiap kami punya waktu. Ini pun sesuai dengan minat kami, sehingga mudah-mudahan kami bisa melakukannya dengan sepenuh hati. Dengan keterbatasan anggaran yang kami miliki, kami pun merambah beberapa toko buku melakukan perburuan.
Sebagai hasil perburuan, kami mendapatkan tiga buku yang khusus membahas tema ini. Mereka terdiri dari dua buku terjemahan dan satu produk domestik. Buku pertama adalah "Parents Who Love Reading, Kids Who Don't" karya Mary Leonhardt yang terbit tahun 1995. Berikutnya buku "Agar Anak Anda Tertular "Virus" Membaca" karya Paul Jennings yang mulai beredar tahun 2006. Dan yang terbaru tulisan Mohammad Fauzil Adhim "Membuat Anak Gila Membaca", terbit 2015.
Ketiga buku tersebut tidak kami peroleh dalam waktu bersamaan. Satu buku telah berada di tangan kami sebelum kelahiran anak-anak kami. Buku berikutnya hadir pada sekitar setengah perjalanan kami mengakrabkan anak dengan buku. Dan buku terakhir boleh dibilang sangat terlambat datangnya, sebab kami peroleh setelah anak-anak "terlanjur" remaja. Di luar ketiga buku itu, kami tetap mencari dan mengadopsi sumber ilmu yang lain, termasuk beberapa buku yang tidak secara khusus membahas masalah tersebut.
Langkah kedua pastinya melahap ketiga sumber ilmu tersebut, sesuai masanya. Tentunya ditambah ilmu-ilmu dari sumber lain. Berdasarkan paparan dari para ahli dan praktisi, kami memperoleh beberapa panduan yang umum berlaku antara lain:
- Akrabkan anak dengan buku sejak dini
- Ciptakan suasana rumah yang nyaman untuk membaca
- Beri teladan agar anak-anak gemar membaca
- Katakan dengan buku
- Minimalisir hambatan interaksi anak dengan buku (misalnya televisi dan gawai)
Itulah "kaidah" umum yang disampaikan sebagian ahli dan praktisi. Namun disamping "aturan" umum itu, tentu ada pula perbedaan atau variasi metode dari masing-masing orang. Saya akan menyampaikan beberapa variasi khusus dari ketiga penulis yang telah saya sebutkan di atas.
Dalam masa mengakrabkan anak dengan buku, secara umum dikatakan bahwa tidak ada batas usia tertentu anak mulai diperkenalkan dengan buku. Lebih cepat orang tua mengenalkan buku kepada anak lebih baik. Tapi cara dan media yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak.
Fauzhil Adhim menekankan perlunya memilih buku yang bergizi untuk menjaga jiwa, hati dan pikiran anak agar tidak teracuni oleh buku-buku yang "kurang bertanggung jawab" dari sisi moral dan lain-lain. Dalam bahasannya, Fauzil juga memberikan contoh beberapa buku yang kelihatan baik temanya, namun ternyata ada beberapa "penyimpangan" di dalam isinya.
Sementara itu, "aturan" Leonhardt lebih longgar. Menurutnya, dalam tahap awal lebih penting menanamkan kesukaan membaca kepada anak-anak sehingga anak-anak perlu diberi kebebasan untuk memilih bukunya sendiri. Menurut Leonhardt, anak-anak punya 'sensor pribadi' dan kita hanya perlu memberikan kepercayaan kepada mereka.
Terkait media selain buku, Leonhardt juga lebih lunak dalam kebijakan menonton televisi misalnya. Ia berpendapat, selama anak masih mau membaca buku, maka menonton televisi bukanlah hal yang tabu. Hal sebaliknya dicontohkan Fauzhil Adhim. Saking "fobia"-nya terhadap televisi, ia telah meniadakan keberadaan benda itu di rumahnya.
Sementara itu, Jennings memberikan paparan yang cukup rinci dan detil terkait metode mendekatkan anak dengan buku. Salah satu tema yang menarik adalah ungkapannya bahwa membacakan buku untuk anak adalah hubungan cinta sepanjang hayat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H