Setiap kali menyetorkan, Nini Suki bisa menyerahkan hingga lima kilogram gulungan benang. Satu kilogram benang antih dihargai Rp 23.000,-. Upah dari hasilnya mengantih kemudian disimpannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
"Ngantih ya buat kesibukan daripada gak ngapa-ngapain, nanti uangnya kan bisa buat jajan," begitu kata Nini Suki ketika ditanya kenapa masih tetap mengantih.
Selain Nini Suki, banyak juga warga paruh baya dan berusia lanjut yang sampai saat ini masih mengantih. Ketika berkunjung ke Desa Tumanggal kita akan banyak menjumpai halaman rumah warga yang sedang menjemur kapuk atau warga yang sedang asyik mengantih di teras rumahnya.
Mengantih biasanya dilakukan setelah mereka menyelesaikan pekerjaan rumah atau sepulang dari ladang. Karena sebagian dari mereka berprofesi sebagai buruh tani dan sambil mengisi waktu luangnya mereka memilih untuk mengantih.
Didampingi Babinsa Desa Tumanggal, Serma Heri Imam S., kami bercengkrama dengan Nini Suki. Tawanya begitu renyah, senyumnya merekah dan sambutnya sungguh ramah. Bahkan Nini Suki juga tidak segan mengajarkan ku bagaimana caranya mengantih.
Di luar dugaan, mengantih yang ku anggap mudah ternyata susahnya luar biasa. Dengan penuh kesabaran, Nini Suki mengarahkanku bagaimana cara memegang kapuk dan menyatukannya dengan benang yang sudah mulai terpintal.Â
Tangannya yang tak selembut dahulu, memandu tangan ini untuk memutar jantra secara perlahan dengan sepotong kayu kecil miliknya.
Sampai pada akhirnya diri ini memilih untuk menyerah karena beberapa kali benang yang sudah terpintal lepas begitu saja. Nini Suki pun hanya bisa tertawa melihat kelakuanku. Kapuk yang ada digenggaman, langsung ku serahkan langsung ke Nini Suki untuk dilanjutkan sebelum jemari ini mengacaukannya.