Buahnya ini disukai oleh putri-putri keraton dan banyak tumbuh di Daerah Istimewa Yogyakarta. Konon katanya barangsiapa mengkonsumsi buah Kepel maka aroma keringatnya akan wangi begitupun dengan air seninya baunya tidak terlalu tajam.
Di Purbalingga sendiri, Kepel ini baru saya jumpai tersembunyi di balik Pendopo Dipokusumo. Pohonnya tumbuh dengan subur, buahnya pun banyak menggerombol dari dasar batang hingga ujung, bahkan di ranting-ranting pun ada buah yang bergelantungan.Â
Kalau ditanya usia pohonnya mungkin sudah puluhan tahun ada di situ.
Mulai isenglah untuk memegang buah ini, ternyata cukup keras dan menunggu buah matang pun agak lama atau nunggu sampai buahnya jatuh sendiri ke tanah. Kalau kata orang-orang yang pernah coba, rasanya manis tapi kalau yang gak suka bisa buat eneg di perut.Â
Satu per satu buah kepel ini mulai berjatuhan. Petugas kebersihan pun mengumpulkan di piring lidi tahu kalau ada yang penasaran ingin tahu rasanya buah Kepel.Â
Diambilah buah Kepel itu, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Buahnya memang cukup keras dan susah dikupas, ditekan pakai tangan seperti sawo pun gak bisa.
Lalu dibukalah menggunakan pisau, ternyata dibelah semacam alpukat karena bijinya cukup besar. Dan yang gak sesuai diharapkan lagi gak tahu bagian mana yang harus dimakan.Â
Usut punya usut, cara makannya memang unik, kalau kata orang-orang yang pernah mencoba, Kepel nya dilempar-lempar ke lantai dulu baru dibelah.Â
Usai dibelah ada daging buah yang menempel di biji, daging buahnya ini lunak seperti lendir warnanya jingga menyerupai sawo tapi teksturnya beda sama sawo. Dari aromanya seperti aroma agar-agar nutrijel rasa mangga dan setelah dicoba pun rasanya hampir sama seperti nutrijel mangga.Â
Entah karena baru setengah matang atau memang matangnya demikian, daging buah yang bisa dinikmati cuma sedikit sekali karena terlepas dari lendir buah ada serat buah yang rasanya sedikit pahit. Mungkin karena belum matang sempurna.