Hilal telah tampak, tanpa terasa ramadan telah terlewati, dan lebaran sudah mendekati. Semua orang mengumandangkan takbir dan siap menyambut hari yang fitri.
Suara bedug bersaut-sautan bergantian dengan masjid-masjid yang lain. Anak-anak rama berkeliling kampung melakukan takbir keliing dengan membawa bedug dan obor di tangannya.
Umat islam ramai-ramai pergi ke salah satu rumah untuk membayar zakat. Ibu-ibu sibuk di dapur membuat merebus ketupat untuk disantap esok saat lebaran.
Namun itu lebaran tahun lalu. Lebaran ini sedikit berbeda, kumandang takbir hanya terdengar di masjid dan mushola lewat pengeras suara. Anak-anak tak lagi menyuarakan takbir keliling sembari membawa obor.
Anak-anak lebih banyak diam di rumah, sesuai anjuran dari pemerintah. Lebaran ini tampak sepi tapi tidak menutup esensi dari lebaran.
Bagi Adi, lebaran kali ini sama dengan lebaran-lebaran sebelumnya tanpa kepulangan ayah ke rumah. Sejak lima tahun lalu ayahnya bekerja di Sumatra, ayahnya tidak pernah pulang karena pekerjaan dan harga tiket yang menjulang.
Kali ini pun ayahnya harus tertahan di pulau seberang karena pemerintah melarang masyarakat untuk mudik demi keselamatan keluarga di rumah. Betapa Adi sangat merindukan sosok ayahnya yang lama tak dijumpainya.
Keluarga Adi memang tergolong keluarga yang kurang mampu, rumahnya pun hanya berdindingkan papan dan anyaman bambu. Lantainya masih tanah dan tanpa perabotan mewah.
Ayahnya hanya seorang kuli panggul, uang yang diterimanya pun tidak seberapa. Namun, ayahnya selalu menyisihkan uang untuk keluarganya di rumah.
"Lebaran ini, ayah gak pulang lagi ya bu. Adi kangen sama ayah," celetuk Adi kepada ibunya.