Cari kerja dicari yang paling muda, tapi masuk sekolah dicari yang paling tua. Lucu... !!!
Usia masuk sekolah kembali menjadi masalah. Apalagi biaya pendidikan di sekolah swasta cukup tinggi.
Masalah pendidikan menjadi rumit, sebab ini adalah lahan uang yang subur. Bicara pendidikan di saat ini, sama artinya dengan membicarakan sejumlah nilai uang.
Tidak heran, orang tua mendesak anak-anaknya untuk memilih Sekolah Negeri. Sebab Sekolah Negeri disokong oleh dana BOS. Yang artinya, menekan pengeluaran untuk biaya pendidikan.
Usia Terbaik Untuk Sekolah
"Padahal ibu-ibu rumah tangga sekarang berpikiran sangat maju, maksudnya ingin sekali anak-anaknya lebih cepat masuk sekolah. Banyak anak-anak yang masih berusia 5 tahun, katakanlah lewat beberapa bulan, sudah masuk SD." - Irwan Rinaldi Sikumbang
Kian hari, semakin cepat anak-anak dipaksa keluar dari rumah. Dari banyak orang tua yang saya jumpai, mereka berpikir bahwa sekolah adalah sarana terbaik untuk anak belajar.
Sekalipun anak-anak masih sangat belia, namun mereka dikirim ke sekolah. Bahkan, di kawasan ruko Tangcity, Tangerang, saya pernah menjumpai sekolah untuk bayi.
Hanya sedikit orang tua yang menyadari fungsinya sebagai guru utama. Apalagi yang terjun langsung mengajar dan mendidik anak-anaknya.
Bukan hanya orang tua yang keduanya bekerja. Orang tua yang salah satu di rumah pun, berlomba-lomba mengirim anak ke sekolah.
Di masyarakat, sudah terbentuk suatu nilai bahwa kegiatan belajar itu di sekolah. Bahkan, menyekolahkan anak dapat menjadi penanda kelas sosial.
Di negara-negara Nordik, anak-anak diberikan waktu yang lama untuk bermain. Sudah umum jika anak-anak mulai Sekolah Dasar umur 8 tahun.
Anak-anak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah. Dengan sebagian besar waktunya dialokasikan untuk bermain dan membentuk keahlian sosial. Sama sekali tidak mempelajari apapun.
Ketika masuk sekolah, mereka pun tidak perlu melalui tes. Sehingga anak-anak akan belajar membaca, tulis, dan hitung setelah di sekolah. Selain itu, semua sekolah adalah Sekolah Negeri, sehingga semua anak yang mendaftar harus diterima.
David Figlio, seorang ekonom di Northwestern University mengatakan bahwa anak-anak usia 7 dan 8 tahun, prestasinya lebih baik.
Swedia, Finlandia, dan negara-negara Nordik lainnya, memiliki pencapaian akademik yang tinggi. Peringkat PISA negara-negara ini berada di puncak. Bahkan tingkat kesejahteraan anak-anak di sana pun tinggi.
Danish National Birth Cohort (DNBC) mengadakan pengukuran kesehatan mental anak-anak. Hasilnya, anak-anak yang mulai sekolah usia 7 tahun atau lebih, 73% menunjukkan sehat mental. Sementara anak-anak yang sekolah sejak dini, mereka gagal dalam uji hiperaktif dan uji fokus.
Sekolah sejak dini meningkatkan stres dan menimbulkan masalah-masalah kesehatan mental. Sebab anak-anak kehilangan pengalaman bermain dan adanya tuntutan untuk berprestasi.
Di tahun 2004, Departemen Pendidikan UK mengobservasi 3000 anak. Hasilnya, memperpanjang waktu bermain akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses belajar dan kesejahteraan.
Proses belajar dan motivasi belajar, justru timbul dari bermain. Ada hubungan antara bermain dan belajar.
Bermain adalah cara anak untuk mempelajari bahasa. Kegiatan bermain bersama anak, secara tidak langsung, sama dengan mengajarkan phonik dan keterampilan dasar literasi.
Menggerakkan badan dan membuat mainan adalah cara anak untuk belajar bersosialisasi. Mereka belajar untuk lebih sadar dan mengendalikan diri. Baik itu fisik, maupun mental mereka.
Bermain, menggerakkan badan, dan membuat mainan sendiri, adalah cara anak secara alami belajar. Kegiatan-kegiatan itu membentuk kecerdasan intelektual, sekaligus kecerdasan emosional pada anak-anak.
Indonesia dan Masalah Usia
Aturan tentang usia sekolah ada baiknya. Semoga aturan ini menjadi refleksi untuk para orang tua.
Mengingat banyak anak-anak telah kehilangan guru utama mereka.
Masalah-masalah baru pasti akan timbul. Sebab satu aturan akan memiliki pengaruh yang luas. Apalagi aturan pendidikan. Dimana jumlah peserta didik di Indonesia sangat banyak.
Ketika syarat usia dirubah, dampaknya terhadap usia kelulusan perlu diperhatikan. Begitu pula dengan usia angkatan kerja. Jika hanya hulu diubah, tengah dan hilir dibiarkan, maka akan ada kekacauan yang lebih besar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H