Mohon tunggu...
Liky Ledoh
Liky Ledoh Mohon Tunggu... Ilmuwan - peneliti

married, civil servants and interisti. masih belajar untuk fokus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengojek

15 Maret 2017   01:01 Diperbarui: 15 Maret 2017   01:11 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Telepon selulerku bergetar seperti berloncatan di kantung celanaku. Nada dering telolet berbunyi nyaring memanggil. Akhirnya panggilan pertama setelah menunggu hampir satu jam di pagi ini. Secepatnya aku mengambil ponselku dan dengan dua sentuhan terpampang sebuah nama wanita dengan petunjuk lokasi ia berada dan kemana tujuannya. Ya, ini adalah aplikasi transportasi daring roda dua. Sebulan sudah aku mengojek memakai aplikasi ini. Tidak perlu menawar dan mencari penumpang. Ketika aplikasi ini memanggil, harus siap menjalankan tugas.

Bergegas aku menghidupkan sepeda motor matic dan meluncur ke sebuah bank swasta di sebelah kampus IPB. Bank berlogo tiga huruf warna hijau ini sudah biasa menjadi lokasi penjemputan dan menurunkan penumpang ojek daring yang mayoritasnya adalah mahasiswa.

Suasana cukup ramai di depan bank tersebut. Beberapa orang  terlihat mengamati ponselnya dengan serius. Aku berhenti tepat di depan gerbang bank tersebut dan terlihat seorang gadis cantik berjilbab hitam datang mendekat sambil memegang ponsel di depan dadanya.

“mbak Elis?” tanyaku. Ia menganguk sambil melihat ponsel kemudian memandang nomor polisi motorku. Sesaat kemudian ia memandangku lagi dengan ragu dan pandangannya turun ke jaketku.

Tersadar, sambil meminta maaf aku membuka jaketku dengan cepat kemudian membalik dan memakainya lagi. Jaket hitam ini sebenarnya jaket seragam untuk pengendara ojek. Kadang aku membaliknya agar tidak dipandang curiga para pengojek pangkalan. Ketegangan di wajahnya mulai memudar ketika aku menyodorkan helm hijau kepadanya. “Cepat ya bang ke stasiun, aku sudah telat nih” ujarnya sambil bergegas meletakan pantatnya di belakang sadel motorku.

Aku mulai memutar gas dan motor ini melaju tapi hanya sebentar kemudian kami berhenti. Macet. Puluhan mobil sebagian besar berwarna biru berbaris rapi di sepanjang jalan. Terdengar gadis ini menarik napas panjang dibelakangku. Macet membuat semua orang menjadi kesal dan sabar secara bersamaan.

Aku mulai menjalankan keahlianku menyalib kiri dan kanan bersaing dengan kendaraan lainnya untuk tetap berjalan maju. Tidak sia-sia pengalamanku menjadi tukang ojek pangkalan selama 15 tahun semenjak lulus SMA.

Kembali ke masa itu, aku termasuk tukang ojek yang sukses. Beberapa pelanggan tetap dan dua anak SD selalu aku antar dan jemput setiap hari. Cukup dengan SMS, aku langsung tiba. Hasilnya lumayan. Untungnya sepuluh kali lipat dari harga bensin dan makan setiap hari. Harga ojek tidak pasti dan cenderung mahal, tapi bisa ditawar separuh kalo pintar berembuk. Malah kadang aku tidak tega mematok harga setinggi itu. Beberapa langgananku bahkan sekali-kali aku berikan gratis saat lagi banyak pemasukan.

Itu semua berubah dua tahun terakhir. Ojek daring melalui ponsel membuat kami pengojek pangkalan tidak lagi menikmati rezeki melimpah seperti sebelumnya. Langgananku mulai jarang SMS. Aku dan teman-teman pengojek lebih banyak menongkrong dan tiduran di pangkalan. Sejumlah pengojek beralih menjadi tukang, yang lain mencoba bertahan dengan memasang larangan masuk kompleks bagi pengojek daring.

Beberapa teman yang telah beralih menjadi pengojek daring mengajakku bergabung. tapi syaratnya cukup mahal. Aku harus memiliki SIM sebagai syarat bergabung. Suatu benda mewah yang jarang ditemukan pada dompet para pengojek. Apa gunanya bagi kami yang hanya melintas di dalam kompleks perumahan dan perkampungan. Lagipula siapa yang mau berurusan di kantor polisi? Uangku pun tidak cukup untuk mendapatkan kartu putih bertanda tangan kapolres tersebut.

Lima jam aku duduk termenung di kantor polantas untuk membuat SIM. Uangku sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat SIM sesuai tarif yang ditempel di kaca jendela itu. Tapi temanku yang mengurus SIM sebelumnya mengatakan harganya beberapa kali lipat dari harga resmi. Aku maunya SIMny  langsung jadi. Soalnya batas penutupan pendaftaran ojek daring tinggal dua hari lagi. Aku tidak yakin lulus ujian teori. Apalagi ujian lapangan yang membuat Valentino Rossi terlihat seperti seorang amatir.

Seorang polisi muda muncul di depanku. Rupanya ia sudah mengamatiku dari tadi. “Mau ngurus SIM kang?” tanyanya dengan suara berat tapi lembut. Aku menyahutnya seraya menyampaikan kondisiku sambil menahan agar kakiku tidak gemetar. Aku pasrah saja kalau dibentak atau ditampar polisi bermarga daerah sumatera tersebut.

 Aku bercerita dengan jujur keinginanku menjadi pengojek daring. Dalam hatiku aku terus berdoa kepada Yang Kuasa. Almarhumah ibuku pernah mengatakan, kalau sudah niat pasti ada jalan. Yang penting diniatkan dulu. Kalau untuk kebaikan pasti Tuhan membuka jalan. Bersyukur, polisi itu berbaik hati mau menolong sesuai uang yang ditanganku. “Ini sudah sore, isi berkas dan masuk foto dulu. Besok datang ambil SIM-nya” tutupnya sambil menyerahkan formulir yang harus aku isi. Air mata mau keluar rasanya, ingin aku mencium tangannya tapi segan.

Terlalu panjang dan berliku kalau aku ceritakan pengalamanku untuk menjadi pengojek daring. Termasuk dibatalkan pelanggan pertama karena aku tidak mengangkat panggilan teleponnya. Oleh sebab baru pertama kali aku memakai ponsel layar sentuh,  aku tidak tahu bagaimana menerima panggilan telepon. Tidak heran sesaat sampai di rumah, sepupuku menggetok canda kepalaku setelah ia menunjukkan menerima telepon cukup dengan menggeser tombol ke arah kanan.

Mengingat masa itu membuat siksaan macet kurang terasa. Gadis dibelakangku sudah dua kali menelepon temannya hanya untuk meminta maaf. Aku sudah berusaha secepatnya, tapi waktu berputar lebih cepat dari roda motorku.

Tiba di stasiun, gadis berhidung mancung itu turun secepatnya, membayar dan buru-buru pergi tanpa mengucap satu katapun. Helmku bisa saja dibawa pergi kalau aku tidak mengingatkan. Biayanya tidak sampai sepuluh ribu. Seperempat dari harga ojek pangkalan untuk jarak yang sama. Dalam hatiku berharap ia memberi bintang lima di aplikasinya. Disitulah bonusku berasal.

Matahari mulai memberi sengatannya. Kupacu motorku menjauh dari stasiun melewati pasar yang padat dan macet. Terdengar sayup-sayup pengamen bernyanyi di atas angkot hijau yang mulai reyot:

Talas Bogor yang sudah kesohor
Harganya lebih dari buah import
Panas Bogor sudah mirip panas kompor
jangan-jangan biar kotor asal kesohor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun