Mohon tunggu...
Liky Ledoh
Liky Ledoh Mohon Tunggu... Ilmuwan - peneliti

married, civil servants and interisti. masih belajar untuk fokus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengojek

15 Maret 2017   01:01 Diperbarui: 15 Maret 2017   01:11 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Seorang polisi muda muncul di depanku. Rupanya ia sudah mengamatiku dari tadi. “Mau ngurus SIM kang?” tanyanya dengan suara berat tapi lembut. Aku menyahutnya seraya menyampaikan kondisiku sambil menahan agar kakiku tidak gemetar. Aku pasrah saja kalau dibentak atau ditampar polisi bermarga daerah sumatera tersebut.

 Aku bercerita dengan jujur keinginanku menjadi pengojek daring. Dalam hatiku aku terus berdoa kepada Yang Kuasa. Almarhumah ibuku pernah mengatakan, kalau sudah niat pasti ada jalan. Yang penting diniatkan dulu. Kalau untuk kebaikan pasti Tuhan membuka jalan. Bersyukur, polisi itu berbaik hati mau menolong sesuai uang yang ditanganku. “Ini sudah sore, isi berkas dan masuk foto dulu. Besok datang ambil SIM-nya” tutupnya sambil menyerahkan formulir yang harus aku isi. Air mata mau keluar rasanya, ingin aku mencium tangannya tapi segan.

Terlalu panjang dan berliku kalau aku ceritakan pengalamanku untuk menjadi pengojek daring. Termasuk dibatalkan pelanggan pertama karena aku tidak mengangkat panggilan teleponnya. Oleh sebab baru pertama kali aku memakai ponsel layar sentuh,  aku tidak tahu bagaimana menerima panggilan telepon. Tidak heran sesaat sampai di rumah, sepupuku menggetok canda kepalaku setelah ia menunjukkan menerima telepon cukup dengan menggeser tombol ke arah kanan.

Mengingat masa itu membuat siksaan macet kurang terasa. Gadis dibelakangku sudah dua kali menelepon temannya hanya untuk meminta maaf. Aku sudah berusaha secepatnya, tapi waktu berputar lebih cepat dari roda motorku.

Tiba di stasiun, gadis berhidung mancung itu turun secepatnya, membayar dan buru-buru pergi tanpa mengucap satu katapun. Helmku bisa saja dibawa pergi kalau aku tidak mengingatkan. Biayanya tidak sampai sepuluh ribu. Seperempat dari harga ojek pangkalan untuk jarak yang sama. Dalam hatiku berharap ia memberi bintang lima di aplikasinya. Disitulah bonusku berasal.

Matahari mulai memberi sengatannya. Kupacu motorku menjauh dari stasiun melewati pasar yang padat dan macet. Terdengar sayup-sayup pengamen bernyanyi di atas angkot hijau yang mulai reyot:

Talas Bogor yang sudah kesohor
Harganya lebih dari buah import
Panas Bogor sudah mirip panas kompor
jangan-jangan biar kotor asal kesohor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun