Di masa new normal ini, angka kekerasan sexual, KDRT dan angka perceraian meningkat. Tendensi global sejalan dengan meningkatnya depresi di masyarakat.
Wanita muda itu sedang hamil enam bulan, menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya gemetar di dalam ambulans. Pasangan wanita itu telah memukuli tubuhnya dengan kursi, hampir seluruh tubuhnya memar.Â
Tetangga mendengar teriakan kesakitannya meminta ampun berulang-ulang. Dirasa penyiksaannya terlalu lama dan takut terjadi apa-apa, tetangga akhirnya memutuskan mengontak kepala RT dan mereka menelepon nomor darurat 911 setelah melihat wanita itu terkapar tak berdaya di lantai, pasangannya pergi entah kemana.
"Kamu harus meninggalkan dia," kataku, tapi dia menggelengkan kepalanya. "Saya tidak bisa" katanya. "Jangan laporkan suami saya ke polisi, saya tidak punya uang". Saat itu saya diam, memegang tangannya, mencoba memberi dukungan tapi tidak tahu harus menjawab apa.
Dalam kasus kekerasan sexual atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), campur tangan pihak lain diikuti dengan setumpuk  administrasi dan prosedur  sama frustrasinya dengan kekerasan itu sendiri.
Sebagai tenaga medis, mereka merawat luka dan menenangkan korban, tidak lebih. Mereka toh hanya memiliki beberapa menit untuk menjelaskan bahwa tidak normal seseorang memukul pasangannya, bahwa korban harus keluar dari sana, bahwa kekerasan ini tidak akan berhenti.
Sebagai polisi, mereka dapat membuat laporan resmi dan meminta pelaku ditindaklanjuti oleh layanan khusus, itu juga jika sang korban menghendaki. Sebagai hakim, mereka hanya dapat mengisolasi seseorang untuk sementara.Â
Semua tahap membutuhkan biaya dan memakan waktu, mengisi formulir ini-itu saja sudah membuat stress. Ujung-ujungnya kasus KDRT jarang terselesaikan secara tuntas.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika, dibutuhkan sekitar tujuh kali percobaan bagi seseorang untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan. Itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.Â
Kasus KDRT bukan hanya melemahkan korban, juga melemahkan lingkungan sosialisasi sang korban. Beberapa orang bertanya-tanya mengapa korban "tidak pergi begitu saja". Reaksi awal yang umum.
"Apa yang membuat wanita memilih pria seperti itu?" Sayangnya, sekarang saya tahu bahwa tidak banyak yang bisa dipilih. Kebanyakan pelaku tampak seperti orang biasa, bahkan tampan, sopan dan menawan di masyarakat. Mereka jarang menjadi agresif di awal hubungan. Kekerasan dimulai dengan manipulasi, perlahan tapi dengan tujuan jelas mengambil kendali atas orang lain.
Komentar-komentar sejenis dibawah ini biasanya keluar dari mulutnya di awal relasi:
"Teman-temanmu itu tidak baik untukmu."
"Aku lebih suka kamu mengganti bajumu."
"Aku akan urus keuanganmu"
"Berhentilah bekerja, saya akan menanggung kehidupanmu"
"Maaf kalau saya emosi, tapi kau juga sulit sih."
"Mengapa sih kamu selalu begitu sulit diatur?"
"Lihat, semua orang menertawakanmu di belakang punggungmu."
Seperti katak di dalam air yang perlahan menjadi hangat, banyak korban tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Justru korban sering merasa bersalah, merasa kurang sempurna. Dan sebelum mereka menyadarinya, pelaku mulai memukuli mereka dan kemudian nanti pasti  pelaku minta maaf disertai rayuan atau bahkan membawa hadiah.
Tanpa rekening bank sendiri, tampa penghasilan, tanpa teman, tanpa harapan, jauh dari keluarga, tampa dukungan moral.......apa yang bisa korban lakukan? Berharap sang pelaku meninggal dunia secara alami? berharap dia menemukan korban lain sehingga berpaling darinya? Atau dengan harapan bisa diselesaikan secara "kekeluargaan" masalah KDRT tidak akan berakhir begitu saja.Â
Yang jelas jangan berharap pelaku akan berubah, korban yang harus berubah, berani-lah berkata "tidak", berani melawan balik apapun resikonya, putuskan hubungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H