Perempuan tidak lagi sebatas menjadi pendamping dalam ranah domestik maupun publik.
Dalam aksi #dipasungsemen minggu lalu (14 April 2016), perempuan secara khusus menempati fokus utama dan berada di baris terdepan berseberangan langsung dgn Istana Kepresidenan. Video liputan aksi mereka telah ditonton oleh audiens online sebanyak 4,674 kali melalui link youtube:Â https://youtu.be/e9ElAfl0y28
Mereka duduk, berdiri, dan bersuara di tengah-tengah ibukota, sebagai wakil dari warga Grobogan, suatu wilayah yang subur akan pertanian di Jawa Tengah.
Mereka menolak pabrik semen yang hendak dibangun di daerahnya, yang akan mengganggu sumber mata air dan kesuburan lahan mereka.
Mereka mendukung visi negara untuk mempertahankan tanah dan rumah mereka sebagai lumbung padi nasional. Mereka adalah pertama-tama perempuan sekaligus petani. Lebih dari itu, mereka melek dan sadar akan hak politik mereka sebagai warga negara, serta kewajiban mereka untuk memelihara keberlangsungan hidup bagi anak cucu mereka, dan bagi kelestarian alam.
Kehadiran mereka secara fisik memberi eksistensi kepada suara warga yang mereka wakili, mengejawantahkan impian dan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan.
Kehadiran perempuan di dalam aksi akar rumput itu memberikan kekuatan bukan saja pada momen sesaat, tetapi merupakan sebuah gerakan keberlanjutan dari generasi sebelumnya yang selama ini tersembunyi di balik maskulinitas dialektika publik. Kehadiran mereka menembus berbagai batasan: batasan sosial dari daerah pedesaan ke pusat ibukota, batasan ekonomi dari kepentingan pertanian ke pemilik modal dan kepresidenan, serta batasan gender yang sebelumnya menempatkan perempuan di balik layar.
Pertanyaan menyangkut emansipasi terjawab dengan jelas oleh kesembilan petani perempuan ini. Mereka menjadi wajah kesetaraan gender di mana perempuan dan laki-laki beraspirasi bersama-sama. Mereka mengingatkan publik bahwa selama ini perempuan sudah dan selalu terlibat aktif dalam kehidupan pertanian. Mereka bekerja di ladang, bersentuhan langsung dengan dampak kerusakan lingkungan dan kekeringan air yang dihisap oleh pabrik-pabrik penguasa teknologi modern.
Di dalam aksi ini, perempuan tidak sendirian. Dapat kita lihat dari video liputan aksi #DipasungSemen, bahwa banyak rekan demonstran (mayoritas laki-laki) yang bekerja di balik layar, Â mengurus transportasi, memberi perlindungan keamanan, mengantar makanan, bahkan menggendong serta memberi pendampingan dan semangat. Di dalam aksi ini, mereka - perempuan dan laki-laki - hadir secara berdampingan dengan perempuan sebagai aktor terdepan.
Publik lekas bersimpati ketika melihat perempuan secara terang-terangan menonjolkan realitas kehidupan masyarakat di lapisan terbawah di dalam piramida perekonomian. Mengapa? Mungkin karena selama ini perempuan dianggap sebagai warga kelas dua yang tak tahu menahu soal  permainan pasar bebas. Publik menyadari bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk menarik perhatian, termasuk perhatian dari para aparat, pejabat negara, pengamat, pemilik modal, dan juga para sukarelawan yang akan turut memobilisasi aksi seperti ini.
Pemikiran kritis menduga adanya sebuah wacana manipulatif di balik layar, apabila perempuan sekedar membaca naskah dan digunakan sebagai sarana. Jika perempuan belum sadar akan potensinya yang sungguh besar sebagai agen perubahan, mereka (dalam hal ini, perempuan) akan sekedar menjadi obyek dan hanya menjadi penonton atau pemeran lakon dari drama yang dibuat oleh kelompok lain.