Jadi, waktu itu, ketika sedang bermalas-malas di minggu siang, secara tiba-tiba, mamah menghampiriku dan mengajak bicara. Sebuah keajaiban yang sangat langka dia sengaja datang dan duduk disamping kasurku yang bersprei putih. Beberapa menit kemudian, dia menyatakan keinginannya.
"Jangan terlalu pilih-pilih, jika mencari pasangan ideal menurutmu, kamu tidak akan menemukannya," ujarnya.
"Ya memang belum ketemu saja, mah," kataku
"Sudah 10 tahun, sepengetahuan mamah, kamu tidak punya pasangan. Apa tidak kesepian."
Sial. Aku tak bisa pungkiri bahwa sepuluh tahun tanpa pasangan adalah sepi. Aku selalu mencari kesibukan agar pikiranku terus bekerja dan tidak memikirkan tentang hubungan lawan jenis. Tapi akhir pekan tidak bisa dihindarkan dan selalu kelabu. Ketika aku lelah bekerja dan malas beraktifitas. Aku hanya melamun dan membayangkan alangkah bahagianya jika aku bisa keluar rumah bersama seorang pria. Jika tidak, cukup dirumah menonton film bersama sambil berpelukan, memasak, atau bermalas-malas di atas sofa. Rasanya menyenangkan.
"Coba kamu pikirkan ulang, Amira, apa kamu tidak mau membahagiakan mamah, mumpung mamah masih sehat, mamah punya uang untuk pernikahan kamu. Mamah juga kan mau mengundang, bukan hanya dapat undangan saja," tambahnya.
"Iya mah, aku juga sedang usahakan," ujarku.
"Coba sini, mamah dikirimin foto anaknya teman mamah, laki-laki, coba kamu lihat," ujarnya
"Tidak, Mah, terima kasih,"
"Kamu tahu nggak, mamah sudah bosan ketika tetangga kita, teman-teman mamah, serta saudara-saudara menginginkan mamah jadi calon besannya. Mamah kan jadi bingung mau bilang apa," ujarnya.
Sejak itu, aku mulai paham bahwa, ada satu problem bagi seorang ibu jika belum bisa menikahkan putrinya. Belum sempurna. Terlebih perawan yang hampir tua, sepertiku.