"Kelana, sudah ya, Nduk. Nanti Pak Lek yang akan menenangkan Mbak Aminah ini."
Badan Kelana ditarik mundur, menjauh dari Aminah. Istri Iqbal itu duduk lesu di kursi teras. Orang-orang yang sedari tadi mengerubungi ikut menyuarakan satu dua kalimat nasehat untuk Aminah.Â
"Apa kamu masih mencintai Mas Iqbal?"
Meski pelan, pertanyaan itu terdengar juga oleh kedua telinga Kelana. Dia tidak menjawab karena memang tidak ada gunanya.Â
Dengan merunduk, Kelana mencoba membelah kerumunan manusia untuk masuk ke dalam rumah. Namun, dia terhenti karena terhalang oleh seorang lelaki. Dia mendongak dan samar mendapati wajah lelaki ini tampak familier. Matanya yang teduh, alisnya yang sedikit panjang dan hidungnya yang tampak mancung serta bekas luka di dagunya. Yang berbeda hanya jambang tipis yang kini muncul di area rahangnya.Â
Begitu Kelana sadar kalau dia sedang berhadapan dengan Iqbal, dia mematung.Â
"Maaf, Mbak Kelana," ucap Iqbal dengan suara beratnya.Â
Seketika emosi Kelana memuncak dan ..plakkk! Sebuah tamparan mendarat di wajah Iqbal.Â
"Selesaikan urusanmu dengan istrimu."Â
Kelana melesat masuk ke dalam rumah.Â
Semua orang menoleh ke arah Iqbal.Â