Mohon tunggu...
Money

Organisasi dan Manajemen Zakat

10 Desember 2016   23:41 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

  • Latar Belakang

Pemerintah mengeluarkan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dalam rangka mengembangkan pengelolaan zakat agar mempermudah dalam pengelolaan zakat sehingga menunjang kebutuhan sosial untuk konsumtif maupun produktif serta merupakan awal dari terbukanya keterlibatan publik secra aktif melalui Organisasi BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Namun UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dianggap belum mampu menjawab permasalahan pengelolaan tersebut sehingga pemerintah merevisi UU No. 38 tahun 1999 menjadi UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat agar dapat memperbaiki undang-undang sebelumnya karena UU No. 38 tahun 1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2011 dijelaskan mengenai dana zakat yang dapat disalurkan melalui BAZNAS yang merupakan organisasi bentukan pemerintah dan LAZ bentukan non-pemerintah. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ (Lembaga Amil Zakat) adalah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadaanya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

  • Pengelolaan zakat oleh lembaga zakat memiliki beberapa urgensi, antara lain.
  • Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
  • Untuk menjaga perasaan rendah diri dari para mustahik.
  • Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam menggunakan  harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat, sehingga kesejahteraan para mustahik tercapai.
  • Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat menyelenggarakan perintah islam.
  • Untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahik.
  • Untuk memudahakan pelaporan dan pertanggung jawaban kepada publik.
  • Sistem pengelolaannya dilakukan secara profesional.

Peran lembaga zakat baik BAZNAS maupun LAZ menjadi fasilitator yang sangat penting dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat sebagai instrumen yang dapat mempengaruhi pemerintah sosial ekonomi. peran lembaga sebagai  fungsi distribusi dimana lembaga menjalankan fungsi ekonomi yang berkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proposional dengan pengertian bahwa daerah yang satu dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan daerah masing-masing.

  • Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, lembaga amil zakat harus bersifat sebagai berikut:
  • Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga ini lebih leluasa untuk memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
  • Netral. Karena didanai oleh masyarakat, lembaga ini milik masyarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan aktivitasnya, lembaga tidak boleh menguntungkan golongan tertentu. Jika tidak, tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari golongan lain.
  • Tidak berpolitik praktis. Lembaga tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbeda-beda yakin bahwa dana itu tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis suatu partai.
  • Tidak bersifat deskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Dimana pun, kapan pun dan siapa pun dapat menjadi kaya maupun miskin. Karena itu, penyaluran dananya lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku atau golongan, tetapi harus memiliki parameter yang jelas.

Ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahik Antara lain :

  • Mengutamakan distribusi domestik.
  • Pendistribusian dilakukan secara merata dengan kaidah kaidah:
  • Apabila zakat yang terkumpul banyak, setiap golongan mendapat bagian yang sesuai dengan golongan.
  • Pendistribusian harus diberikan kepada 8 asnaf.
  • Diperbolehkan memberi semua zakat yang sudah terkumpul kepada beberapa golongan penerima zakat, yang apabila didapati bahwa kebutuhan yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan khusus.
  • Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat.

Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat.

  • Tata Kelola

Dana zakat pada awalnya lebih didominasi oleh pola pendistribusian secara konsumtif, namun demikian pada pelaksanaan yang lebih mutakhir saat ini, zakat mulai dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif. Sebagaimana dicanangkan dalam Buku Pedoman Zakat yang diterbitkan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama (2002:2004) untuk pendayaan dana zakat.

Pola distribusi dikategorikan dalam empat bentuk berikut:

  • Distribusi bersifat ‘konsumtif tradisional’, yaitu zakat dibagikan kepada mustashik untuk dimanfaatkan secara langsung seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat mal yang dibagikan kepada para korban bencana alam.
  • Distribusi bersifat ‘konsumtif kreatif’, yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa.
  • Distribusi bersifat ‘produktif tradisional’, di mana zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi, alat cukur, dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini akan dapat menciptakan suatu usaha yang membuka lapangan kerja bagi fakir miskin.
  • Distribusi dalam bentuk ‘produktif kreatif’, yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan baik untuk membangun proyek sosial atau menambah modal pedagang kecil.

Pola distribusi lainnya yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah pola menginvestasikan dana zakat. Konsep ini, hal ini belum pernah dibahas secara mendetail oleh ulama-ulama salaf (terdahulu), dengan begitu konsep ini masih membuka pintu ijthad bagi setiap pemikir Islam untuk urun rembuk membahas inovasi pola distribusi ini. Pola distribusi produktif sangat efektif untuk memproyeksikan perubahan seorang mustashik menjadi muzakki, sedangkan pola untuk menginvestasikan dana zakat diharapkan dapat efektif memfusika sistem zakat sebagai suatu bentuk jaminan sosiokultural masyarakat muslim, terutama untuk kelompok miskin/defisit.

  • Manajemen Zakat

Distribusi Konsumsi Dana Zakat

Biro Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dari ketidakmampuan orang/keluarga dalam mengkonsumsi kebutuhan dasar (tingkat konsumsi), konsepnya menjadikan konsumsi beras sebagai indikator utama, sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melihatnya dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis (tingkat kesejahteraan) kemudian United Nation Development Program–Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP-PBB) mengukur berdasarkan ketidakmampuan orang dalam memperluas pilihan-pilihan hidupnya pada tataran transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia (model pembangunan manusia).

Ke semua model pengukuran di atas, jika dikaitkan dengan pengembangan pola distribusi dana zakat secara konsumtif berarti konsep dari pola pendistribusian diarahkan kepada:

Upaya Pemenuhan Kebutuhan Konsumi Dasar dari Para Mustashik

Ini sama halnya dengan pola distribusi bersifat ‘konsumtif tradisional’, yaitu zakat dibagikan kepada mustashik untuk dimanfaatkan secara langsung, dengan begitu realisasinya tidak akan jauh dari pemenuhan sembako bagi kelompok delapan asnaf. Haya saja yang menjadi persoalan kemudian adalah seberapa besar volume zakat yang bisa diberikan kepada seorang mustahik.

Untuk itu dalam rangka optimalisasi, dana terkumpul dari instrumen zakat mal sebaiknya tidak diarahkan untuk penyaluran sembako. Biarlah instrumen pemerataan pendapatan Islami lainnya yang mengambil alih, seperti dana infak, sedekah, dan hasil zakat fitrah. Penyaluran instrumen ini tidak dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu, akan teapi berlaku aksidental, seperti pada saat umat muslim merayakan Idul Fitri.

Upaya Pemenuhan Kebutuhan yang Berkaitan dengan Tingkat Kesejahteraan Sosial dan Psikologis

Pola konsumtif pada item ini dapat diarahkan kepada pendistribusian konsumtif nonmakanan (sembako), walaupun untuk keperluan konsumsi mustahik. Sedangkan untuk peningkatan kesejahteraan psikologis, lembaga amil dapat menyalurkan dalam bentuk bantuan pembiayaan untuk mustahik yang hendak melangsungkan pernikahan atau sunatan massal bagi anak-anak mustashik. Hal ini menjadi sangat penting, terutama yang berkaitan dengan bantuan biaya pernikahan bagi mustahik, karena salah satu faktor penyebab penyimpangan psikologis adalah keterlambatan dalam melaksanakan pernikahan.

Upaya pemenuhan kegiatan yang berkaitan  dengan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi indonesia

Untuk poin ketiga, pola distribusi yang harus menjadi primadona adalah menyalurkan dana zakat dalam bentuk peningkatan kualitas pendidikan delapan asnaf atau mustashik, untuk itu tidak mesti harus berupa beasiswa untuk sekolah umum, namun bisa juga diarahkan untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk meningktakan ketrampilan nonformal (luar sekolah) yang dapat dimanfaatkan mustashik untuk kelanjutan menjalani hidup dan menggapai kesejahteraannya, seperti jahit-menjahit, pelatihan bahasa asing, dan pelatihan kerja profesi lainnya. Untuk penyaluran bentuk item ketiga ini lembaga amil harus mampu melihat peluang dan tantangan yang ada pada kondisi lokal berkaitan dengan aktivitas perekonomian dan penerapan sistem demokrasi.

Distribusi Produktif Dana Zakat    

Saat ini yang menjadi trend dari Islamization process yang dikembangkan oleh para pemikir kontemporer ekonomi Islam adalah, pertama:mengganti sistem ekonomi sistem bunga dengan ekonomi sistem bagi hasil, kedua: mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian (fungsi retribusi income). Untuk trend ini sejumlah pemikiran inovatif mengenai intermediary system dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam. Hal ini tentunya diikuti oleh kesadaran bahwa masyarakat muslim saat ini masih dalam sekatan ekonomi terbelakang, artinya permasalahan pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial dimiliki oleh sejumlah besar negara yang justru berpenduduk mayoritas Islam.

Belakangan ini, intermedary sistem yang mengelola investasi dan zakat seperti perbankan Islam dan lembaga pengelola zakat lahir secara menjamur. Untuk fenomena Indonesia sendiri, dunia perbankan Islam dan dana pengumpul zakat menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Mereka berusaha untuk berkomitmen mempertemukan pihak surplusmuslim dan pihak deficitI muslim,dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplusdan deficit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang deficite (mustashik)menjadi surplus (muzakki). Lembaga perbankan bergerak dengan proyek investasi non riba, sedangkan lembaga zakat selain mendistribusikan zakat secara konsumtif, saat ini juga telah mengembangkan sistem distribusi dana zakat secara produktif.

Investasi Dana Zakat

Dalam pembahasan yang berkaitan dengan menginvestasikan dana zakat, persoalan yang kemudian akan muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya? Salah satu konsep fundamental dari sistem zakat menyatakan bahwa tarif zakat yang dibayarkan seseorang muzakki adalah hak milik mustahiknya. Dalam kajian fikih klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang menginvestasikannya. Untuk kedua alternatif ini, justifikasi para ahli fikih klasik menyebutkan bahwa:

  • Bila Mustahik yang menginvestasikan dana zakat

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang mustashik dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mustashik menerima dana zakat tersebut. Karena ketika dana zakat tersebut mereka terimakan, otomatis menjadi hak milik sepenuhnya. Hanya saja, jika mengingat peta kelompok delapan asnaf- sebagaimana sudah dibahas- empat kategori pertama  (fakir, miskin, amil, dan mualaf) konsep nashmenyebutkan dengan huruf lam yang berarti kepemilikan, jika demikian, keempat kategori ini dibolehkan untuk menginvestasikan dana zakatnya. Kemudian untuk empat golongn sisanya (riqab, gharim fisabilillah,dan ibnu sabil), nash mengimbuhkan dengan fi dzarf yang berarti sesuai kondisi. Menurut penulis, berpikir untuk menginvestasikan dana zakat adalah sangat cerdas, kecuali bagi gharim (orang yang berhutang), karena kelompok ini punya kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu bayar utangnya itu sendiri.

  • Bila Muzaki yang menginvestasikan dana zakatnya

Dalam bahasan fiqhiyah yang menjadi persoalan kemudian adalah kemungkinan seorang muzaki untuk menunda kewajiban zakakatnya, semisal pada seorang muzaki melihat bahwa kepemilikan aset wajib zakatnya sudah mencapai satu haul, kemudian dia menghitung tarif dari kewajiban tersebut, namun kemudian dana tersebut tidak langsung diberikan kepada mustashik, akan tetapi diinvestasikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, para ahli fikih klasik memperdebatkannya secara pelik, walaupun jumhur ulama yang diwakili mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mensinyalir bahwa kewajiban zakat adalah kewajiban yang harus disegerakan apabilia sudah waktunya (fauriyah) dan tidak diperkenankan untuk menunda penyaluran dana tersebut.

  • Kesimpulan
  • BAZNAS merupakan organisasi bentukan pemerintah dan LAZ bentukan non-pemerintah. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ (Lembaga Amil Zakat) adalah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadaanya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
  • Persyaratan lembaga pengelola zakat: Beragama islam, Mukallaf, Memiliki sifat amanah dan jujur, Mengerti dan memahami hukum-hukum, Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya, Peningkatan capacity buildingamil sehingga bisa berkompetisi setiap momen dan per
  • Prinsip Pengelolaan zakat: Prinsip keterbukaan, Prinsip sukarela,  Prinsip keterpaduan, Profesionalisme, Prinsip kemandirian.
  • Pola manajemen zakat dapat dilakukan dengan cara konsumsi, produksi dan investasi.

Refrensi

Kadir, Abdul. Zakat dalam Perekonomian Modern,Jakarta: Gema insani, 2002.

Al Arif, M.Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: Pustaka Setia, 2012

Amiriddin, anatomi Fiqih Zakat,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Mufraini, M. Arief. Akuntansi & Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2006.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun