Dalam pembahasan yang berkaitan dengan menginvestasikan dana zakat, persoalan yang kemudian akan muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya? Salah satu konsep fundamental dari sistem zakat menyatakan bahwa tarif zakat yang dibayarkan seseorang muzakki adalah hak milik mustahiknya. Dalam kajian fikih klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang menginvestasikannya. Untuk kedua alternatif ini, justifikasi para ahli fikih klasik menyebutkan bahwa:
- Bila Mustahik yang menginvestasikan dana zakat
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang mustashik dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mustashik menerima dana zakat tersebut. Karena ketika dana zakat tersebut mereka terimakan, otomatis menjadi hak milik sepenuhnya. Hanya saja, jika mengingat peta kelompok delapan asnaf- sebagaimana sudah dibahas- empat kategori pertama  (fakir, miskin, amil, dan mualaf) konsep nashmenyebutkan dengan huruf lam yang berarti kepemilikan, jika demikian, keempat kategori ini dibolehkan untuk menginvestasikan dana zakatnya. Kemudian untuk empat golongn sisanya (riqab, gharim fisabilillah,dan ibnu sabil), nash mengimbuhkan dengan fi dzarf yang berarti sesuai kondisi. Menurut penulis, berpikir untuk menginvestasikan dana zakat adalah sangat cerdas, kecuali bagi gharim (orang yang berhutang), karena kelompok ini punya kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu bayar utangnya itu sendiri.
- Bila Muzaki yang menginvestasikan dana zakatnya
Dalam bahasan fiqhiyah yang menjadi persoalan kemudian adalah kemungkinan seorang muzaki untuk menunda kewajiban zakakatnya, semisal pada seorang muzaki melihat bahwa kepemilikan aset wajib zakatnya sudah mencapai satu haul, kemudian dia menghitung tarif dari kewajiban tersebut, namun kemudian dana tersebut tidak langsung diberikan kepada mustashik, akan tetapi diinvestasikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, para ahli fikih klasik memperdebatkannya secara pelik, walaupun jumhur ulama yang diwakili mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mensinyalir bahwa kewajiban zakat adalah kewajiban yang harus disegerakan apabilia sudah waktunya (fauriyah) dan tidak diperkenankan untuk menunda penyaluran dana tersebut.
- Kesimpulan
- BAZNAS merupakan organisasi bentukan pemerintah dan LAZ bentukan non-pemerintah. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan LAZ (Lembaga Amil Zakat) adalah organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat. Keberadaanya untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
- Persyaratan lembaga pengelola zakat: Beragama islam, Mukallaf, Memiliki sifat amanah dan jujur, Mengerti dan memahami hukum-hukum, Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, Motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya, Peningkatan capacity buildingamil sehingga bisa berkompetisi setiap momen dan per
- Prinsip Pengelolaan zakat: Prinsip keterbukaan, Prinsip sukarela, Â Prinsip keterpaduan, Profesionalisme, Prinsip kemandirian.
- Pola manajemen zakat dapat dilakukan dengan cara konsumsi, produksi dan investasi.
Refrensi
Kadir, Abdul. Zakat dalam Perekonomian Modern,Jakarta: Gema insani, 2002.
Al Arif, M.Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: Pustaka Setia, 2012
Amiriddin, anatomi Fiqih Zakat,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Mufraini, M. Arief. Akuntansi & Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H