Mohon tunggu...
Lien Halimah
Lien Halimah Mohon Tunggu... Human Resources - Pustakaloka

Pustaka pelajar yang mencari..

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Feature Ecomuseum: Kampung Adat Cireundeu di Kota Cimahi

18 Januari 2021   17:32 Diperbarui: 18 Januari 2021   17:43 2696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
prinsip masyarakat Kampung adat Cireundeu Sumber: travelingyuk.com

Kampung adat Cireundeu yang berlokasi di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun secara administratif Desa Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Bengan penduduk sekitar 50 kepala keluarga dengan 800 jiwa yang sebagian besar bermata pencaharian petani. Di mana luas sekitar 64 hektare yang terdiri dari 60 hektare lahan pertanian dan 4 hektare pemukiman. Kampung adat Cireundeu ini fokus terhadap pemeliharaan tradisi yang menjaga warisan dari ketua adat terdahulu dan tidak memposisikan sebagai desa objek daya tarik wisata. Tradisi terkenal yang masih dijaga di Kampung adat Cireundeu ini yaitu dengan bahan pokok yang menggunakan singkong dan tradisi 1 sura. Tradisi ini dimulai sekitar tahun 1918.

Disebutkan menurut Seksi Pariwisata dan Budaya (2010) dalam website disparbud.jabarprov.go.id, masyarakat adat Kampung adat Cireundeu memiliki prinsip dengan berpedoman terhadap istilah yang mereka anut, yaitu “Teu Nyawa Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat”. Maksudnya dari kalimat sebelumnya adalah agar manusia tidak tergantung pada satu hal saja, 

seperti misalnya dalam hal makanan pokok masyarakat Kampung adat Cireundeu menggunakan alternatif atau beralih dengan menggunakan bahan singkong dari beras seperti makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya. Tradisi ini dimulai sekitar 1918 yang dipelopori oleh Ibu Omah yang diikuti oleh beberapa saudaranya di Kampung adat Cireundeu. Kemudian pemerintah kota Cimahi member penghargaan “Pahlawan Pangan” pada tahun 1964.

Dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu “Sunda Wiwitan” yang di mana mereka percaya bahwa alam dan manusia memiliki satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang menurut salah satu penduduk kampung adat Cireundeu mereka sebut bahwa di dunia ini terdapat dua ibu, yaitu ibu yang mengandung dan ibu yang tidak mengandung. Ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan tahun 1918. 

Dengan salah satu tradisi (upacara adat) yang selalu dirayakan yaitu 1 Sura tepat pada tahun Saka Sunda pada bulan oktober. Perayaan 1 Sura, dilakukan dengan kaum laki-laki yang menggunakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala yang berasal dari kain batik, sedangkan kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih. 

Upacara adat yang dilakukan dengan membuat ritual gugunungan buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya seperti rempah-rempahan dan ketela. Dilengkapi dengan acara kesenian kecapi suling, ngamumule budaya sunda, dan wuwuhan atau nasihat yang disampaikan dari sesepuh (ketua adat) agar dalam perayaan 1 Sura dapat menjadi rukun.

Cara masyarakat memelihara alam di Kampung adat Cireundeu ini dengan memiliki tiga istilah leuweung (hutan). Pertama Leuweung Bakadahan, kebon atau hutan yang biasa digunakan untuk bercocok tanam dengan menanam singkong dan berbagai tumbuhan lainnya yang luas kurang lebih 20 hektare. Kedua Leuweung Larangan, yaitu hutan yang tidak boleh di sentuh atau tidak boleh mengalami perubahan apapun. 

Hal ini upaya agar dapat menjaga pasokan air bersih yang berasal dari dua mata air yaitu mata air Nyi Mas Ended an mata air Caringin. Dengan memiliki fungsi sebagai penampung air yang isi di dalam Leuweung Larangan tersebut berupa vegetasi tanaman keras. Ketiga Leuweung Tutupan yang di dalamnya berupa gawir (tebing) atai lamping (lereng). Leuweung Tutupan ini berfungsi sebagai bumper (penahan) untuk melindungi Leuweung Larangan.

Leuweung Larangan Sumber: bandung.kompas.com
Leuweung Larangan Sumber: bandung.kompas.com

Ditambah dengan adanya prinsip “Mindung ka waktu, Mibapa ka zaman”, maksudnya adalah warga masyarakat Kampung adat Cireundeu berprinsip untuk tidak melawan zaman dengan kata lain, menerima adanya perkembangan teknologi, akan tetapi dengan menerima dan mengikuti tetap menjaga keyakinan dan identitas diri sebagai masyarakat Kampung adat Cireundeu yang harus dipertahankan.

Rumah Panggung Sumber: steemit.com
Rumah Panggung Sumber: steemit.com

Dalam hal ini Kampung adat Cireundeu dapat dijadikan sebuah ecomuseum, selain sudah dijadikan ekowisata dan telah banyak diketahui oleh khalayak umum. Dalam website kompasiana.com ecomuseum adalah “sebuah museum yang difokuskan pada sebuah tempat yang menjadi identitas warisan budaya.”

 Disebutkan menurut Ohara (1998) dalam artikel Ivan, S. dkk (2013) merupakan aktivitas ekologi yang bertujuan untuk mengembangkan sebuah kawasan menjadi sebuah museum yang hidup, dengan dilengkapi 3 unsur yang seimbang dan saling terintegrasi untuk menjadi ecomuseum, diantaranya preservasi kebudayaan terhadap sebuah wilayah, pengelolaan yang melibatkan masyarakat lokal, serta fungsi alam dan tradisi sebagai sebuah museum.

Sedangkan ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990) dalam website disbudpar.ntbporov.go.id, adalah “sebuah bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Kemudian dikembangkan menurut Eplerwood (1999) merupakan bentuk baru dari perjalanan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata. Ditambahkan oleh Australian Departement of Tourism (1999) dengan menambahkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis.

Dalam hal ini definisi tentang ekowisata dan ecomuseum hampir sama, akan tetapi ecomuseum lebih mendefinisikan pada suatu daerah untuk menjadikan suatu wilayah tersebut yaitu Kampung adat Cireundeu dapat menjadi wisata sekaligus daerah bersejarah yang harus dijaga kelestariannya.

Maka pengembangan yang dapat dilakukan terhadap ecomuseum di Kampung adat Cireundeu selain fasilitas yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya, sangat diperlukan juga menjaga kelestarian Kampung adat Cireundeu dengan dibuatnya kearsipan berdasarkan pengadminitrasian yang baik mengenai wilayah tersebut. Dengan menjaga kelestarian secara administrasi dan dokumentasi dapat dibuat perpustakaan mengenai Kampung adat Cireundeu yang dikelola dengan baik. Mengingat bahwa Galery, Libraries, Archives, Museums, Monuments, Sites (GLAMMS) telah menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan.  

Fasilitas yang terdapat di Kampung adat Cireundeu disebutkan dalam website kampungadatcirendeu.wordpress.com, diantanya: lahan parkir, gazebo (ruangan terbukauntuk melihat pemandangan bagi pengunjung), masjid, bale (tempat berkumpul bagi masyarakat adat Cireundeu), tempat sampah, toilet umum, warung kecil, rumah penginapan, dan petunjuk jalan dengan menggunakan aksara Sunda (huruf Sunda kuno).

Disaat tiba di lokasi akan disambut dengan monument Meriam Sapu Jagat yang di mana merupakan simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan yang dilengkapi dengan tugu mungil dengan bertuliaskan “Wangsit Siliwang” artinya jujur, ksatria, membela rakyat kecil, sayang pada sesama dan berwibawa.

Monumen Sapu Jagat Sumber: ravelingyuk.com
Monumen Sapu Jagat Sumber: ravelingyuk.com

Perjalanan dimulai dari “Bale Saresehan” kemudian barang-barang yang dibawa oleh pengunjung (tas, sepatu atau sandal dan barang lainnya) harus dititipkan di sebuah rumah panggung dan kemudian menelusuri perjalanan yang akan dipandu.

Bale Sresehan Sumber: ravelingyuk.com
Bale Sresehan Sumber: ravelingyuk.com

Di sana saat  melewati “Leuweung Tutupan”, hutan alas kaki yang digunakan harus dilepas.  Tersedia olahan makanan berbahan singkong yang dapat dijadikan buah tangan yang dapat dibeli dan dibawa pulang oleh pengunjung.

Pengolahan singkong Sumber: travelingyuk.com
Pengolahan singkong Sumber: travelingyuk.com
Maka dapat disimpulkan bahwa Kampung adat Cireundeu yang terletak di kota Cimahi dapat dijadikan ecomuseum dengan berdasarkan 3 unsur untuk menjadi ecomuseum seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dan wilayah Kampung adat Cireundeu dapat dikatakan memenuhi ketiga unsur tersebut. Dilengkapi dengan pernyataan bahwa Kampung adat Cireundeu yang merupakan ekowisata. Banyak potensi yang dapat menjadikan Kampung adat Cireundeu sebuah ecomuseum, dengan adat kebiasaan yang cukup unik dan wilayahnya yang dijaga dengan baik mengikuti peraturan adat yang telah ditentukan. Dari banyak keunikan yang terdapat di Kampung adat Cireundeu yang dapat memberikan banyak manfaat khususnya dalam menjaga lingkungan.

Nama Lengkap: Lien Halimah

Email: halimrien482@upi.edu

Prodi: Perpustakaan dan Sains Informasi

Fakultas: FIP Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas: Universitas Pendidikan Indonesia

Dosen Pembimbing : Dr. Erlina Wijanarti, M.Pd. dan Angga Hadiapurwa, M.I.Kom

Fasilitator : Hafsah Nugraha, S.S.I

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun