meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- Â penghilangan orang secara paksa; atau
- Â kejahatan apartheid".
Namun, implementasi Pengadilan Khusus Hak Asasi Manusia untuk Timor-Leste dan Tanjung Priok masih sangat minim dan terbukti tidak memadai dalam hal perlindungan saksi dan korban.Â
Misalnya, ruang sidang mudah diakses oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, dan identitas saksi tidak dirahasiakan dari publik. Alasan lainnya termasuk kurangnya perumahan yang aman, perlakuan pihak berwenang terhadap korban dan saksi, kurangnya persiapan dan pengalaman pihak berwenang, dan tingginya biaya jika saksi  tidak mau menghadiri persidangan.Â
Karena kurangnya saksi, kebenaran tidak terungkap dengan baik sehingga menghasilkan putusan yang bertentangan dengan rasa keadilan. Selain itu, prinsip persidangan yang cepat dan ekonomis tidak tercapai karena seringnya terjadi penundaan dan perubahan tanggal persidangan karena kurangnya saksi (Smith dkk, 2008:313)
Mengutip dari buku Hukum Hak Asasi "Mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa "setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kempensasi, restitusi, dan rehabilitasi" (Pasal 35 ayat (1)) (huruf tebal oleh penulis).Â
Penggunaan kata dapat memberikan konsekuensi hukum bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak diakui oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai "hak" dan hanya diberikan kepada korban pelanggaran berat hak asasi manusia atau ahli warisnya apabila dicantumkan dalam keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau sesuai dengan tuntutan penuntut umum. Sehingga kata "dapat" menjadikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak harus (huruf tebal oleh penulis) diberikan kepada korban pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya" (Smith dkk, 2008:314).
B) Pembahasan
Memburuknya keadaan keamanan dan Hak Asasi Manusia di Timor Timur setelah jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian komunitas internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap penting untuk memperbaiki situasi tersebut. Sesuai dengan laporan Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur, terdapat beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa, dan pembumihangusan.
Majelis Keamanan PBB (MK PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 yang berisi mengutuk pelanggaran serius hak asasi manusia yang terjadi pasca pemungutan suara di Timor-Timur, serangan terhadap petugas kemanusiaan nasional dan internasional, dan penderitaan penduduk sipil akibat evakuasi paksa secara besar-besaran. Karena itu, DK PBB mempersilakan para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan pengadilan.
Didirikan Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak terlepas dari tekanan masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Didirikannya pengadilan ini merupakan salah satu upaya Indonesia untuk melaksanakan kewajiban internasionalnya dengan memanfaatkan seoptimal mungkin mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri (penyelamatan upaya hukum lokal). Ini pasti untuk mencegah masuknya sistem hukum internasional untuk mengadili penduduk Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara langsung menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melangkahi peran pengadilan nasional suatu negara.