Mohon tunggu...
Money

Penyewaan Tanah Menurut Pandangan Islam

18 Maret 2019   07:26 Diperbarui: 19 Maret 2019   06:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Dari Thawus sesungguhnya Muad bin Jabbal, ia menyewa lahan dizaman Rasulullah SAW, Abu Bakar,Umar,utsman dengan bagi hasil 1/3 dan 1/4 maka ia melakukannya sampai hari ini " (HR Ibnu Majah)

Dalam arti diaatas dapat di jepasakan bawahwa Faktor produksi diklasifikasikan sebagai tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi atau perusahaan. Di dalam bab ini, kita akan membica- rakan tanah saja, sedangkan di bab-bab berikutnya akan kita bicarakan
tenaga kerja, modal, dan perusahaan.

Istilah tanah diberi arti khusus di dalam ilmu ekonomi. Ia tidak hanya bermakna tanah saja seperti yang terpakai dalam pembicaraan
sehari-hari, melainkan bermakna segala sumber daya alam, seperti air dan udara, pohon dan binatang, dan segala sesuatu yang di atas
dan di bawah permukaan tanah, yang menghasilkan pendapatan atau menghasilkan produk.

Menurut Marshall, tanah berarti "material dan kekuatan yang diberikan oleh alam secara cuma-cuma untuk membantu manusia, termasuk tanah dan air, udara dan cahaya, dan panas."

Kebanyakan aktivitas ekonomi manusia tergantung secara langsung pada tanah, bahkan pada saat ini pun, sebagaimana di masa lalu, seperti berburu, mencari ikan, memberi makan binatang ternak, produksi pertanian, taman, mineral, logam, bahan mentah industri, tenaga listrik, air, dll . 

Islam memandang tanah sebagai salah satu faktor produksi yang terpenting. Di dalam bab ini, kita hanya akan membicarakan pandangan Islam mengenai penggunaan tanah dalam bidang pertanian. 

Oleh karena segala persoalan pertanian bersifat sementara, maka Islam tidak memberi aturan yang ketat dalam setiap dan semua persoalan sehingga akan menghalangi kebebasan bertindak manusia. 

Sebaliknya, sebagian besar masalah yang berkenaan dengan hal ini diserahkan kepada pertimbangan akal manusia di sepanjang waktu dan tempat untuk menetapkannya, sesuai dengan situasi sosial-ekonomi yang senantiasa berubah.

Hanyalah sedikit perintah umum yang dikemukakan oleh Al-Qur'an dan Nabi SAW dalam persoalan pemilikan tanah, penggarapannya,reklamasi tanah mati, hubungan pemilik tanah dan pekerjanya, irigasi, dan sebagainya.

Sebuah Hadis yang diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Umamah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW melihat bajak dan beberapa jenis alat pertanian lainnya, lalu beliau bersabda: "Ini semua tidak masuk ke rumah seseorang dengan membawa kemuliaan." 

Dari Hadis ini, sebagian kritikus mencoba menyimpulkan bahwa Nabi kaum Muslimin menghalangi atau mengutuk pertanian. Tetapi jelas itu adalah
kesan yang keliru. 

Sebenarnya, Hadis tersebut menyiratkan pengertian bahwa seseorang yang memusatkan seluruh perhatiannya melulu kepada pertanian saja dan mengabaikan sektor-sektor lain seperti perdagangan dan industri, tidak dapat meningkat ke posisi kemuliaan di antara kehormatan bangsanya. 

Perjalanan sejarah telah membuktikan kebenaran fakta tersebut, yakni bangsa yang berkonsentrasi pada pertanian saja tertinggal jauh dalam lomba pembangunan ekonomi dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang menaruh perhatian pada perdagangan dan industri dan mengambil kebijakan pertumbuhan sektoral berimbangan.
 
 PERSEWAAN ATAU MUZARA'AH
Penggarapan tanah dapat dilakukan dengan dua cara: pemilik tanah itu sendiri yang mengerjakannya atau dia serahkan penggarapan itu kepada orang lain dengan bagi hasil atau sewa. Jika tanah diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain untuk digarap, itu disebut persewaan (tenancy) atau Muzaraah. Ada dua jenis tenancy, yakni yang pertama adalah pemilik dan penggarap membagi hasil produksi dan ini disebut share-tenancy, yang kedua penggarap membayar uang sewa kepada pemilik tanah, dan ini disebut cash-tenancy.

Dalam bagian ini kita akan membahas secara perinci kedua jenis tenancy tersebut dengan memerhatikan Hadis Nabi SAW serta praktik para sahabat yang mulia, untuk memahami pandangan Islam mengenai masalah yang penting ini.

Share Tenancy: Dalam bentuk persewaan ini pemilik tanah menerima bagian tertentu dari hasil produksi dari penggarap atau penyewa, mungkin setengah atau sepertiga atau seperempat, sesuai kesepakatan mereka di dalam kontrak. Sistem ini disebut bagi hasil (produce-sharing).

Dalam bahasa Arab disebut Muzaraah jika objeknya adalah tanah dan musaqat jika objeknya adalah kebun. Orang yang mendukung share tenancy dan memandangnya sebagai hal yang diperbolehkan di dalam Islam membawa Hadis-hadis dan praktik para sahabat berikut ini.4

1. "'Abdullah bin 'Umar melaporkan bahwa ketika Tanah Khaibar jatuh ke tangan kaum Muslimin, setengah daripadanya dinyatakan sebagai tanah negara dan setengah sisanya dibagi-bagi di antara para mujahid. 

Orang Yahudi memohon kepada Nabi suci agar diizinkan tetap tinggal di situ untuk menggarap tanah tersebut dan bersedia menyerahkan setengah dari hasil produksinya. 

Nabi suci setuju, tetapi beliau mengingatkan bahwa mereka harus meninggalkan tanah tersebut jika mereka menyalahi janji atau negara akan mengambilnya kembali. Persetujuan tersebut terus berlangsung hingga masa pemerintahan 'Umar; waktu itu pihak Yahudi menyalahi perjanjian dan mereka pun lalu diminta untuk meninggalkan tanah itu serta kemudian mendiami Taimah dan Arihah." (Bukhari)

2. "Abu Hurairah mengatakan bahwa ketika Nabi suci tiba di Madinah, kaum Anshar ingin agar kebun-kebun mereka dibagi antara kaum
Muhajirin dan mereka sendiri. Nabi suci menyetujui keinginan mereka itu. Selanjutnya, kaum Anshar minta kaum Muhajirin untuk mengawasi kebun-kebun mereka dan nantinya akan mendapat bagian hasilnya. Kaum Muhajirin menyetujuinya dan Nabi suci pun
menyetujuinya pula." (Bukhari)

3. "Banyak sahabat Nabi suci, termasuk Qais bin Muslim, Abu Ja'far, Ibn Abi Syaibah dan Musa bin Thalhah mengatakan bahwa beberapa keluarga kaum Muhajirin di Madinah biasa menggarap tanah secara bagi hasil dengan para pemilik tanah tersebut. 

Banyak sahabat Nabi suci yang ternama seperti Abu Bakar, 'Umar, Ali, Sa'ad bin Malik, 'Abdullah bin Mas'ud, dan Qasim dan Urwah menye-
wakan tanah mereka secara share tenancy." (Bukhari)

4. "Dilaporkan bahwa 'Utsman, khalifah ketiga, memberi tanah kepada 'Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yasir, Khabbab bin Aratt, dan Sa'ad bin Malik; dan bahwa Sa'd bin Malik serta 'Abdullah binMas'ud menyewakan tanah mereka secara share tenancy sebanyak sepertiga atau seperempat dari hasilnya." (Kitab al-Kharaj)

5. "Thawus mengatakan bahwa Mu'adz bin Jabal memberikan tanahnya untuk digarap secara share tenancy dan membagi hasilnya sebesar sepertiga atau seperempat selama masa pemerintahan Nabi suci, Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman." (Ibnu Majah)

Mereka yang tidak menyetujui share tenancy karena menganggapnya dilarang di dalam Islam mendasarkan pendapat mereka pada

Hadis-hadis berikut ini. 5

1. "Rafi' bin Khadij mengatakan bahwa ketika ia sedang mengairi ladangnya, Nabi suci lewat dan bertanya tentang tanah tersebut. Ia menjawab bahwa tanah itu miliknya dan bahwa tenaga kerja serta benihnya disediakan oleh orang lain yang akan berbagi hasil dengannya, masing-masing mendapat setengah. Mendengar hal itu, Nabi suci mengatakan kepadanya agar tidak terlibat di dalam transaksi seperti itu, karena mengandung unsur riba." (Abu Dawud).

2. "Menurut Rafi' bin Khadij, keluarganya pernah membeli tanah untuk disewakan secara share tenancy, yakni dengan mendapat sepertiga atau seperempat hasil produksi tanah tersebut. Pada suatu hari, salah seorang pamannya datang dan mengatakan bahwa Nabi Suci melarang mereka melakukan bisnis seperti itu. Nabi suci melarang mereka menyewakan tanah dengan mendapat sepertiga atau seperempat dari hasil produksinya ataupun sejumlah tertentu lainnya. Beliau berkata bahwa pemilik tanah harus mengerjakan- nya sendiri atau memberikan tanahnya dengan gratis kepada oranglain untuk digarap. Dan beliau tidak menyukai peminjaman tanah dengan cara sewa maupun dengan cara lain." (Muslim)

3. "Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi suci bersabda: bahwa pemilik tanah dapat mengerjakan sendiri tanahnya atau memberikannya kepada saudaranya sesama Muslim, atau meninggalkannya dalam keadaan tak tertanami." (Bukhari)

4. Zaid bin Tsabit melaporkan bahwa Nabi suci melarang mukhabarah, yakni menyewakan tanah dengan bagi hasil setengah atau sepertiga
atau seperempat. (Abu Dawud)

5. Menurut Salim bin 'Abdullah, 'Abdullah menghentikan praktik penggarapan tanah dengan upah ketika ia mendengar dari Rafi' bahwa Nabi suci melarang cara itu. 'Abdullah menghentikan cara itu, tetapi ia berkata bahwa, sekalipun tanah itu digarap orang de ngan sistem upah, ia menghentikannya juga karena takut bahwa Nabi Suci melarang cara itu juga hanya saja ia belum mendengarnya.
 

Kesimulannya adalah Dalam pandangan Maududi, menyewakan tanah sama seperti membungakan uang, sehingga transaksi itu mengandung sifat riba yang diharamkan di dalam Islam. 

Sekalipun sistem tenancy tidak dilarang oleh Islam, karena ia amatpopuler dalam masa hidup Nabi SAW dan banyak sahabat terkenal yang melakukannya baik bagi hasil maupun sewa, yang terbaik adalah yang dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. 

Abu Hurairah melaporkan bahwa Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa memiliki tanah hendaknya ia garap sendiri atau ia berikan secara cuma-cuma kepada saudaranya sesama Muslim atau dia biarkan saja tak tekerjakan" (Bukhari). 

Jadi Hadis ini lebih memilih membiarkan tanah itu tak terpakai daripada menyewakannya baik dengan hasil produksi maupun dengan uang. Di satu pihak, Hadis ini mendorong persaudaraan sesama Muslim dan di lain pihak memotong akar feodalisme yang ada di dalam sistem tenancy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun