Mohon tunggu...
Lidia Putri
Lidia Putri Mohon Tunggu... profesional -

General Practice. Even a drop of water but it can relieve thirst and can make life in the world

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Rasa Empati itu Ada di Otak Anda

13 Maret 2014   23:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber q8allinone.com

[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="AFP PHOTO / MEZAR MATAR) Anak Suriah , Sumber gambar : internasional.kompas.com  "][/caption]

(Walau nyatanya sulit, jangan bosan buat yang baik ) Membaca sebuah artikel tentang  konflik di Suriah  yang sudah 3 tahun, sehingga membuat sekolah, rumah sakit hancur,  semua kekerasan dalam konflik secara langsung pasti berimbas kepada anak-anak yang ada di sana.Di sisi belahan dunia lain   juga hal yang tidak jauh berbeda,  masalah konflik di Afrika yang akhirnya anak-anak  juga menjadi korban.

Bukan hanya pada daerah konflik saja, ternyata pada belahan negara yang dalam situasi bisa di bilang aman seperti negara kita , anak-anak tetap menjadi korban. Dimana anak bukan hanya terpaksa sebagai tulang punggung yang masih belia, bahkan dari keseharian atau hiburan yang layak anak-anak  juga belum mendapatkan porsi yang baik, walaupun orangtuanya bisa di bilang mampu.

Banyaknya masalah dunia dari berbagai belahan dunia  pada dasarnya hanya dari  sifat egois  orang dewasa, dan akhirnya  anak menjadi korban. Suatu hal yang  secara tidak langsung manusia telah merusak generasinya , atau kita sendiri telah memberikan contoh juga mengajarkan generasi akan datang ini ke arah suatu yang tidak baik. Apakah karena rasa empati yang masih kurang di asah.., atau memang rasa empati  sudah hilang di telan kelam pada otak manusia dewasa.

Kembali lagi ke otak manusia, ternyata rasa empati juga berhubungan dengan otak manusia, hal ini bisa di hubungkan dengan keterangan yang ada di tulisan Olaf Blanke (VERE PI) and Mel Slater (VERE Coordinator)  addressed the American Association for the Advancement of Science in a session organised by Olaf Blanke :  "From Artificial Limbs to Virtual Reality: How the Brain Represents the Body", 19 Februari 2011 dan  juga bisa di hubungkan dengan video youtube Patrick Haggard at TEDxBarcelona, July 2013 ini.

Dengan latar belakang ini, jadi kenapa tidak kita tau lebih banyak tau tentang rasa empati dari segi ilmu pengetahuan.

Pernahkan menyadari saat ada suatu pertemuan mengharuskan untuk menyimak dengan serius. Apakah pernah perhatikan, dalam 45 menit pertama saja, biasanya ada saja yang akan membuka rahangnya dengan lebar, sehingga udara terpaksa masuk lebih banyak ke dalam paru-parunya. Ya menguap…

Apakah setelah melihat orang menguap, anda tiba-tiba juga ikut menguap, padahal awalnya tidak ada rasa bosan atau ngatuk sedikitpun pada anda. Kalau jawaban anda iya berarti rasa empati anda ternyata tinggi.

Kenapa begitu? , awalnya memang menguap merupakan ekspresi dari kelelahan fisik, dan para ilmuwan berpikir bahwa menguapadalah mekanisme yang dirancang untuk menjaga otak dingin. Tapi saat ini beberapa ilmuwan percaya pada orang yang tidak sengaja ikutan menguap juga merupakan tanda lahiriah empati. Hal ini di kemukakan dari studi Matthew Campbell, ia mengatakan bahwa orang dengan tingkat tinggi empati cenderung lebih rentan terhadap menguap menular.

[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="sumber q8allinone.com"]

[/caption]

Studi Matthew Campbell  melibatkan 19 simpanse dari pusat penelitian Yerkes. Memilih simpanse karena  makhluk  ini  yang mirip dengan manusia  dan mempunyai  kemampuan berempati. Dan hasil yang ditemukan yaitu  simpanse  akan menguap ketika mereka melihat video dari manusia, karena simpanse berinteraksi dengan orang-orang setiap hari di pusat penelitian ini, tetapi sebaliknya malah mengabaikan menguap dari simpanse dan babun yang belum pernah di ketahui (asing). Jadi fleksibilitas empati mungkin telah tertanam dalam jiwa simpanse  karena sudah berinteraksi dalam beberapa waktu.

Pusat penelitian Yerkes, Matthew Campbell menyatakan “Kami pikir mekanisme untuk mengikuti menguap orang lain adalah sama untuk mengikuti ekspresi wajah lainnya, seperti kebahagiaan, kesedihan atau ketakutan …”.  Keterangan lebih lanjut lainnya mengenai   menguap  (dari literatur  Jennifer Yoon dan Claudio Tennie ) ini dimungkinkan, bahwa menguap menular dapat dijelaskan lebih hanya dengan mimikri non-sadar , atau “efek bunglon.” Ini adalah fenomena yang terdokumentasi dengan baik pada manusia, dan mengacu pada  kecenderungan seseorang untuk sengaja meniru perilaku mitra sosial, atau dengan kata yang lebih singkatnya menguap  menular karena: empati, mimikri non-sadar, atau pola tindakan tetap.

Penelitian mengenai rasa empati dan menguap juga ternyata diteliti pada anjing, yang keterangan penelitian pada tahun 2008, psikolog Ramiro Joly-Mascheroni dan rekan dari   University of London menunjukkan, untuk pertama kalinya, bahwa menguap yang menular manusia untuk anjing domestik.

Jadi  berharap dari banyaknya atau bertambahnya penelitian untuk rasa empati ini, akan membuat suatu kemajuan sehingga mencari cara atau solusinya dari  ilmu pengetahuan, agar manusia lebih punya rasa empati sehingga kehidupan di dunia ini menjadi lebih baik. Tentunya dari semua ini tidak lepas dari dasar utamanya yaitu  "Agama yang mengarahkan dan menjadi filter agar manusia menjadi lebih baik lagi"

senang berbagi

"Tolong dan Mari  Tingkatkan Rasa Empati Lebih Tinggi pada Anak"

Moskow,  13/03/14, Siang hari setelah membaca artikel dunia

-lidia-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun