[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="AFP PHOTO / MEZAR MATAR) Anak Suriah , Sumber gambar : internasional.kompas.com "][/caption]
(Walau nyatanya sulit, jangan bosan buat yang baik ) Membaca sebuah artikel tentang konflik di Suriah yang sudah 3 tahun, sehingga membuat sekolah, rumah sakit hancur, semua kekerasan dalam konflik secara langsung pasti berimbas kepada anak-anak yang ada di sana.Di sisi belahan dunia lain juga hal yang tidak jauh berbeda, masalah konflik di Afrika yang akhirnya anak-anak juga menjadi korban.
Bukan hanya pada daerah konflik saja, ternyata pada belahan negara yang dalam situasi bisa di bilang aman seperti negara kita , anak-anak tetap menjadi korban. Dimana anak bukan hanya terpaksa sebagai tulang punggung yang masih belia, bahkan dari keseharian atau hiburan yang layak anak-anak juga belum mendapatkan porsi yang baik, walaupun orangtuanya bisa di bilang mampu.
Banyaknya masalah dunia dari berbagai belahan dunia pada dasarnya hanya dari sifat egois orang dewasa, dan akhirnya anak menjadi korban. Suatu hal yang secara tidak langsung manusia telah merusak generasinya , atau kita sendiri telah memberikan contoh juga mengajarkan generasi akan datang ini ke arah suatu yang tidak baik. Apakah karena rasa empati yang masih kurang di asah.., atau memang rasa empati sudah hilang di telan kelam pada otak manusia dewasa.
Kembali lagi ke otak manusia, ternyata rasa empati juga berhubungan dengan otak manusia, hal ini bisa di hubungkan dengan keterangan yang ada di tulisan Olaf Blanke (VERE PI) and Mel Slater (VERE Coordinator) addressed the American Association for the Advancement of Science in a session organised by Olaf Blanke : "From Artificial Limbs to Virtual Reality: How the Brain Represents the Body", 19 Februari 2011 dan juga bisa di hubungkan dengan video youtube Patrick Haggard at TEDxBarcelona, July 2013 ini.
Dengan latar belakang ini, jadi kenapa tidak kita tau lebih banyak tau tentang rasa empati dari segi ilmu pengetahuan.
Pernahkan menyadari saat ada suatu pertemuan mengharuskan untuk menyimak dengan serius. Apakah pernah perhatikan, dalam 45 menit pertama saja, biasanya ada saja yang akan membuka rahangnya dengan lebar, sehingga udara terpaksa masuk lebih banyak ke dalam paru-parunya. Ya menguap…
Apakah setelah melihat orang menguap, anda tiba-tiba juga ikut menguap, padahal awalnya tidak ada rasa bosan atau ngatuk sedikitpun pada anda. Kalau jawaban anda iya berarti rasa empati anda ternyata tinggi.
Kenapa begitu? , awalnya memang menguap merupakan ekspresi dari kelelahan fisik, dan para ilmuwan berpikir bahwa menguapadalah mekanisme yang dirancang untuk menjaga otak dingin. Tapi saat ini beberapa ilmuwan percaya pada orang yang tidak sengaja ikutan menguap juga merupakan tanda lahiriah empati. Hal ini di kemukakan dari studi Matthew Campbell, ia mengatakan bahwa orang dengan tingkat tinggi empati cenderung lebih rentan terhadap menguap menular.
[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="sumber q8allinone.com"]
Studi Matthew Campbell melibatkan 19 simpanse dari pusat penelitian Yerkes. Memilih simpanse karena makhluk ini yang mirip dengan manusia dan mempunyai kemampuan berempati. Dan hasil yang ditemukan yaitu simpanse akan menguap ketika mereka melihat video dari manusia, karena simpanse berinteraksi dengan orang-orang setiap hari di pusat penelitian ini, tetapi sebaliknya malah mengabaikan menguap dari simpanse dan babun yang belum pernah di ketahui (asing). Jadi fleksibilitas empati mungkin telah tertanam dalam jiwa simpanse karena sudah berinteraksi dalam beberapa waktu.
Pusat penelitian Yerkes, Matthew Campbell menyatakan “Kami pikir mekanisme untuk mengikuti menguap orang lain adalah sama untuk mengikuti ekspresi wajah lainnya, seperti kebahagiaan, kesedihan atau ketakutan …”. Keterangan lebih lanjut lainnya mengenai menguap (dari literatur Jennifer Yoon dan Claudio Tennie ) ini dimungkinkan, bahwa menguap menular dapat dijelaskan lebih hanya dengan mimikri non-sadar , atau “efek bunglon.” Ini adalah fenomena yang terdokumentasi dengan baik pada manusia, dan mengacu pada kecenderungan seseorang untuk sengaja meniru perilaku mitra sosial, atau dengan kata yang lebih singkatnya menguap menular karena: empati, mimikri non-sadar, atau pola tindakan tetap.
Penelitian mengenai rasa empati dan menguap juga ternyata diteliti pada anjing, yang keterangan penelitian pada tahun 2008, psikolog Ramiro Joly-Mascheroni dan rekan dari University of London menunjukkan, untuk pertama kalinya, bahwa menguap yang menular manusia untuk anjing domestik.
Jadi berharap dari banyaknya atau bertambahnya penelitian untuk rasa empati ini, akan membuat suatu kemajuan sehingga mencari cara atau solusinya dari ilmu pengetahuan, agar manusia lebih punya rasa empati sehingga kehidupan di dunia ini menjadi lebih baik. Tentunya dari semua ini tidak lepas dari dasar utamanya yaitu "Agama yang mengarahkan dan menjadi filter agar manusia menjadi lebih baik lagi"
senang berbagi
"Tolong dan Mari Tingkatkan Rasa Empati Lebih Tinggi pada Anak"
Moskow, 13/03/14, Siang hari setelah membaca artikel dunia
-lidia-