Misalkan contoh:
Pertama Even I itu gak mengerti apa maksud perkataannya.
Kedua Literally, dia itu masih mau berteman sama I.
Ketiga Gue gak mau milih pergi kesana which is itu tempat gak banget.
Dari ketiga contoh diatas dapat dilihat bahwa kata Even I…, Literally, … I, .. which is … , tidak berubah maknanya sebab kata-kata itu hanya menggantikan arti kata yang sama dalam bahasa Indonesia yang seharusnya adalah bahkan saya, sesungguhnya… saya, … dimana itu.
Contoh-contoh diatas jika dilihat dari kewajaran berbahasa tidak menambah atau mengurangi kualitas makna dari bahasa itu sendiri. Sebab gaya berbahasa itu ada kalanya untuk kelihatan keren, gaul, atau bisa juga menunjukkan wawasan luas (ini bukan bukti otentik luasnya wawasan seseorang).
Dalam pandangan sederhana saya boleh dikata gaya bahasa demikian tidak memiliki wilayah jangkauan yang luas sebab hanya kelompok-kelompok mereka saja yang paham.
Bisa jadi gaya bahasa ini muncul ketika mereka sedang nongkrong. Maksudnya bahwa tidak senua tempat atau kota memiliki gaya bahasa yang sama walaupun semua orang paham apa maksudnya.
Pencampuran bahasa ini sebenarnya bukanlah hal baru sebab banyak wilayah di dunia ini mengalami hal yang sama. Di Indonesia pun sudah ada sejak lama walau mulai dikenal luas ketika muncul istilah gaya bahasa anak JakSel (Jakarta Selatan).
Pada dasarnya, dengan adanya gaya bahasa ini yang dikenal dengan istilah englonesian memiliki dampak yang positif terutama generasi penerus bangsa (generasi z).
Fenomena gaya bahasa ini dapat membantu kita terutama generasi z untuk memperkaya kosa kata baru dan belajar “pronunciation” atau pengucapan bahasa Inggris yang benar dikarenakan mempraktekkannya secara langsung.