Kawasan Pekojan yang kini terlihat padat dengan permukiman dan kawasan perniagaan adalah salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Nama Pekojan sendiri berasal dari kata Koja atau Khoja, sebutan bagi penduduk keturunan India yang beragama Islam.
Kampung Pekojan ini juga dikenal dengan sebutan Kampung Arab karena di abad ke-18 Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan para imigran dari Hadramaut atau Yaman Selatan untuk tinggal lebih dulu disini.
Kini, kawasan Pekojan yang masih berada di wilayah kawasan bersejarah Kota Tua menjadi titik wisata halal dengan adanya peninggalan sejarah dan tradisi kampung Arab ini.
Di kawasan Pekojan ini berdiri sebuah masjid yang diyakini diwakafkan oleh Syarifah Baba Kecil yang adalah keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Hadramaut. Masjid ini kini dinamakan masjid An Nawier yang berarti cahaya. Kita bisa melihat makam dari Syarifah Baba Kecil ini di bagian depan masjid.
Masjid yang didirikan pada tahun 1760 oleh tokoh keturunan Yaman, Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus juga memiliki kekerabatan kuat dengan masyarakat Betawi. Di masjid ini juga, tokoh Habib Usman bin Yahya yang mengarang 50 buku kitab kuning dalam bahasa Arab gundul pernah mengajar. Habib Usman bin Yahya ini pernah diangkat sebagai mufti Betawi pada tahun 1862. Bahkan, salah seorang murid dari Habib Usman bin Yahya yaitu Habib Ali Alhabsji yang meninggal di tahun 1968 adalah pendiri Majelis Taklim Kwitang.
Masjid ini memiliki arsitektur dengan gaya neo klasik yang lazim ditemui pada bangunan kuno di kawasan Kota Tua. Beberapa bagian dari bangunan ini bernuansa Eropa, Arab dan Jawa.
Sekilas tampilan dari sisi jalan Pejagalan, masjid ini terlihat mungil tetapi dalam masjid ini cukup luas. Awalnya, Masjid Pekojan ini hanya memiliki luas sekitar 500 meter persegi tetapi pada tahun 1850, masjid ini diperluas menjadi 2000 meter persegi dengan empat pintu masuk di atas tanah seluas 2.470 meter persegi.
Lebih dari dua abad usianya, masjid ini masih kokoh hingga kini dengan dikelilingi pagar tembok dan besi. Kini masjid ini diurus oleh Dewan Kemakmuran Masjid yang diketuai oleh Ustad Dikky Abubakar Bashandid. Ustad Dikky adalah generasi ke-5 pendatang dari Hadramaut atau Yaman yang sudah hidup secara turun temurun di kampung Arab Pekojan ini.
Menurut ustad Dikky, yang menarik dari masjid ini yaitu filosofi yang terdapat di beberapa bagian dari bangunan. Di bagian dalam masjid terdapat 33 pilar yang melambangkan jumlah bacaan zikir selepas shalat.Â
Pintu utama yang semuanya menghadap ke selatan berjumlah empat buah melambangkan jumlah Khulafaur Rasyidin atau khalifah sahabat utama Rasulullah yaitu Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.Â
Di sisi lain, pintu yang menghadap ke timur berjumlah lima buah melambangkan lima bagian dari rukun Islam. Dan, pintu sebelah utara yang berjumlah lima buah melambangkan lima waktu shalat wajib. Jendela masjid ini pun tak lepas dari arti filosofi. Enam buah jendela yang menghadap ke barat melambangkan rukun iman.
Ustad Dikky menambahkan, pilar asli masjid ini hanya dibuat dengan batu bata dan kapur, tidak ada cat yang melapisi. Saat ini, pilar tersebut sudah diberi warna.
Makam seorang Syarifah (wanita keturunan Hadramaut) yang terdapat di salah satu sisi masjid ini adalah makam keramat yang rutin dikunjungi jamaah dari berbagai daerah. Nama "Syarifah" dan "Syarif" adalah nama-nama yang dipakai untuk perempuan dan laki-laki keturunan Hadramaut. Nama-nama tersebut digunakan untuk menandai garis keturunan atau nasab mereka.
Yang istimewa lagi dari masjid ini adalah aliran air dari sumurnya yang sangat melimpah. Dulunya, sumur masjid dijadikan tempat berwudhu tapi kini sumur itu sudah ditutup tetap airnya masih dipakai untuk sumber air wudhu dan keperluan lainnya di masjid ini. Meskipun sudah tidak dipakai untuk keperluan umum, sumur tersebut masih dirawat dengan baik oleh pengurus masjid.
Sekilas ustad Dikky juga menceritakan gambaran kehidupan warga keturunan Arab tempo dulu yang mayoritas berjualan kain. Sementara itu, saat ini warga keturunan Arab di sepanjang jalan Pejagalan di salah satu sisi masjid ini umumnya berdagang kambing.Â
Konon daging kambing yang dijual di kawasan kampung Arab ini rasanya sedikit berbeda karena pedagang mempunyai metode khusus dalam pemotongan kambing. Para pedagang umumnya adalah pendatang arab baru yang tinggal dan mencari penghidupan di wilayah ini.
Di wilayah ini juga masih tinggal warga kampung Arab lama atau warga keturunan Hadramaut termasuk seorang habib yang dituakan oleh warga. Beberapa warga keturunan Arab juga masih menjaga tradisi asli dan tinggal di rumah bangunan lama. Setiap hari raya Idul Fitri para warga ini berkumpul di masjid Azzawiah, salah satu masjid baru yang ada di kawasan kampung Arab ini.
Seperti disebutkan tadi, di kawasan kampung Arab Pekojan ini terdapat juga beberapa masjid lainnya yaitu Langgar Tinggi, masjid Al-Anshor dan masjid Azzawiah. Langgar Tinggi dan masjid Al-Anshor juga termasuk bangunan kuno dan bersejarah.
Masjid Jami Pekojan atau masjid An Nawier ini kini menjadi salah satu bangunan bersejarah yang perlu dijaga kelestariannya. Selain itu, masjid ini telah menjadi wadah umat untuk beribadah, memperdalam ilmu keislaman dan mempererat tali silaturahmi.
Semoga masjid Jami Pekojan selalu membawa kesejukan bagi umat muslim dan bagi semua umat yang ada di kawasan ini maupun di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H