Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sejarah Jakarta dan Kearifan Lokal di Masjid Jami Angke

7 April 2022   06:46 Diperbarui: 10 April 2022   04:30 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mimbar dakwah yang dijaga keasliannya. (Sumber foto: dok pribadi)

Dalam beberapa catatan sejarah, perjuangan kemerdekaan Indonesia melibatkan para tokoh kerajaan Islam bahkan menjadi bagian dari perkembangan syiar Islam itu sendiri.

Demikian juga dengan perkembangan kota Jakarta sejak kehadiran pendatang untuk pertama kalinya. Kota Jakarta awalnya adalah metamorfosa Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dan Batavia. Dalam metamorfosis itu, tokoh-tokoh Islam berperan penting dan meninggalkan jejak sejarahnya dalam bentuk Masjid.

Salah satu Masjid bersejarah di kota Jakarta ini yaitu masjid Al-Anwar atau Mesjid Jami Angke yang terletak di Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat.

Bentuk Masjid Jami Angke di tahun 1900-1940 (Sumber: Wikipedia)
Bentuk Masjid Jami Angke di tahun 1900-1940 (Sumber: Wikipedia)

Kini, masjid yang didirikan pada tahun 1761 Masehi atau tahun 1174 Hijriah itu masih berdiri kokoh di sebuah gang sempit yang kini ramai penduduknya.

Masjid dengan luas bangunan 15 x 15 meter persegi di atas tanah 400 meter persegi ini adalah perpaduan yang harmonis dari budaya Bali, Jawa, Banten Kuno, Belanda dan Tionghoa pada arsitektur masjid ini. 

Pintu masuk Masjid Jamie Angke kini. (Sumber foto: dok pribadi)
Pintu masuk Masjid Jamie Angke kini. (Sumber foto: dok pribadi)

Semua itu terlihat dari bentuk dasar bangunan, ujung atap, kusen, daun pintu, lubang angin hingga bentuk anak tangga yang memiliki karakteristik khusus.

Menurut seorang peneliti bernama Tjut Nyak Kusmiati, gapura-gapura yang berbentuk huruf D pada Masjid Angke ini menyerupai bentuk gapura kuno di Banten dan Cirebon dengan hiasan relung semu pada dinding gapura. Bahkan, tembok masjid pun memiliki pelipit-pelipit yang serupa dengan gapuranya.

Peresmian Masjid Jami Angke sebagai cagar budaya. (sumber foto: dok pribadi)
Peresmian Masjid Jami Angke sebagai cagar budaya. (sumber foto: dok pribadi)

Seperti yang terlihat ini, bangunan utama masih berdiri kokoh dengan beberapa bangunan tambahan yang dibuat di sekelilingnya. Perpaduan budaya pada arsitektur masjid inilah yang menjadi daya tarik bagi pendatang. Mereka tak hanya ingin beribadah tapi juga berwisata ke masjid ini.

Di sekitar masjid ini ada makam para tokoh keturunan Arab, Bali, Banten, Pontianak hingga Tartar. Di antara yang dimakamkan di belakang masjid yaitu Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Angke ini, Syekh Jafar yang adalah anak dari Pangeran Tubagus Angke.

Makam yang ada di belakang Masjid Jami Angke. (Sumber foto: dok pribadi)
Makam yang ada di belakang Masjid Jami Angke. (Sumber foto: dok pribadi)

Di antara yang dimakamkan di seberang jalan di depan masjid ini yaitu Pangeran Syarif Hamid Alkadrie, keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak dan ada pula makam Ratu Pembayun Fatimah, anak dari Sultan Maulana Hasanuddin, penguasa Kesultanan Banten.

Tangga menuju ruang rapat rahasia di bagian tengah atap Masjid Jami Angke. (Sumber foto: dok pribadi)
Tangga menuju ruang rapat rahasia di bagian tengah atap Masjid Jami Angke. (Sumber foto: dok pribadi)

Seorang ahli sejarah yang berkebangsaan Belanda, Dr. F. Dehan, dalam bukunya Oud Batavia menulis, masjid ini didirikan pada tanggal tahun 1174 Hijriah atau 1761 Masehi dan didirikan oleh seorang wanita kaya keturunan Cina yang kemudian menikahi seorang tokoh dari Banten.

Menurut Ketua Bidang Sarana dan Sejarah Kepengurusan Masjid Angke Muhammad Abyan Abdillah, di masa perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, khususnya di masa pemerintahan Batavia di tanah ini, Masjid Jami Angke atau Masjid Al-Anwar ini menjadi semacam benteng pertahanan sekaligus tempat melakukan konsolidasi para pejuang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 lima wilayah di Jakarta masih mengalami gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. 

Mimbar dakwah yang dijaga keasliannya. (Sumber foto: dok pribadi)
Mimbar dakwah yang dijaga keasliannya. (Sumber foto: dok pribadi)

Di komplek masjid ini pulalah para pemuda pejuang melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dalam mengkoordinasi kegiatan menentang Belanda. Para ulama pun mendorong rakyat untuk menentang penjajah Belanda lewat ceramah-ceramah mereka.

Masjid ini juga digunakan untuk tempat penggemblengan para pemuda pejuang itu untuk melawan pasukan Belanda. Mereka bergerak secara rapih dan terorganisir. Karena segala sesuatunya tersembunyi maka masjid ini selamat dari serbuan pasukan Belanda.

Kini, masjid ini menjadi bangunan pemersatu keanekaragaman budaya, terutama bagi warga di area masjid. Ada aturan yang diberlakukan oleh pengurus masjid ini untuk menyaring setiap kegiatan dan dakwah yang dilakukan di masjid ini agar tidak ada unsur provokasi dan pemecah belah bangsa saat ini.

Saat ini, masjid Al Anwar atau masjid Jami Angke tak hanya menjadi rumah ibadah bagi umat muslim tapi pusat silaturahmi dan kegiatan gotong-royong masyarakat di sekitarnya yang majemuk.

Di sepanjang bulan ramadhan warga melakukan buka puasa bersama dengan membawa sumbangan makanan dari setiap warga sesuai kemampuan yang memberikan. Yang berkumpul bukan hanya warga yang beragama Islam, non muslim pun ikut serta berkumpul dan berkontribusi. Selama bulan ramadhan para remaja dan anak-anak berkeliling kampung di setiap waktu sahur untuk membangunkan warga. 

Bale-bale atau teras masjid Jami Angke kini yang sering dipakai untuk aktifitas ibadah dan kegiatan warga. (Sumber foto: dok pribadi)
Bale-bale atau teras masjid Jami Angke kini yang sering dipakai untuk aktifitas ibadah dan kegiatan warga. (Sumber foto: dok pribadi)

Di waktu sahur terakhir menjelang hari raya Idul Fitri mereka menerima hadiah berupa aneka bahan makanan dari warga yang mereka temui saat berkeliling. 

Kegiatan silaturahmi terbesar dilakukan warga di kampung Angke di hari raya Idul Fitri dimana semua warga dari berbagai agama, suku bangsa dan latar belakang membaur merayakan, saling berbagi berkah lewat makanan.

Keanekaragaman ini sangat disyukuri oleh warga. Ustad Abyan mengatakan bahwa kerukunan dalam kemajemukan menjadi sesuatu yang harus dipelihara oleh warga karena itulah yang akan melestarikan kedamaian di tengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun