Dalam beberapa catatan sejarah, perjuangan kemerdekaan Indonesia melibatkan para tokoh kerajaan Islam bahkan menjadi bagian dari perkembangan syiar Islam itu sendiri.
Demikian juga dengan perkembangan kota Jakarta sejak kehadiran pendatang untuk pertama kalinya. Kota Jakarta awalnya adalah metamorfosa Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dan Batavia. Dalam metamorfosis itu, tokoh-tokoh Islam berperan penting dan meninggalkan jejak sejarahnya dalam bentuk Masjid.
Salah satu Masjid bersejarah di kota Jakarta ini yaitu masjid Al-Anwar atau Mesjid Jami Angke yang terletak di Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat.
Kini, masjid yang didirikan pada tahun 1761 Masehi atau tahun 1174 Hijriah itu masih berdiri kokoh di sebuah gang sempit yang kini ramai penduduknya.
Masjid dengan luas bangunan 15 x 15 meter persegi di atas tanah 400 meter persegi ini adalah perpaduan yang harmonis dari budaya Bali, Jawa, Banten Kuno, Belanda dan Tionghoa pada arsitektur masjid ini.Â
Semua itu terlihat dari bentuk dasar bangunan, ujung atap, kusen, daun pintu, lubang angin hingga bentuk anak tangga yang memiliki karakteristik khusus.
Menurut seorang peneliti bernama Tjut Nyak Kusmiati, gapura-gapura yang berbentuk huruf D pada Masjid Angke ini menyerupai bentuk gapura kuno di Banten dan Cirebon dengan hiasan relung semu pada dinding gapura. Bahkan, tembok masjid pun memiliki pelipit-pelipit yang serupa dengan gapuranya.
Seperti yang terlihat ini, bangunan utama masih berdiri kokoh dengan beberapa bangunan tambahan yang dibuat di sekelilingnya. Perpaduan budaya pada arsitektur masjid inilah yang menjadi daya tarik bagi pendatang. Mereka tak hanya ingin beribadah tapi juga berwisata ke masjid ini.
Di sekitar masjid ini ada makam para tokoh keturunan Arab, Bali, Banten, Pontianak hingga Tartar. Di antara yang dimakamkan di belakang masjid yaitu Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Angke ini, Syekh Jafar yang adalah anak dari Pangeran Tubagus Angke.
Di antara yang dimakamkan di seberang jalan di depan masjid ini yaitu Pangeran Syarif Hamid Alkadrie, keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak dan ada pula makam Ratu Pembayun Fatimah, anak dari Sultan Maulana Hasanuddin, penguasa Kesultanan Banten.
Seorang ahli sejarah yang berkebangsaan Belanda, Dr. F. Dehan, dalam bukunya Oud Batavia menulis, masjid ini didirikan pada tanggal tahun 1174 Hijriah atau 1761 Masehi dan didirikan oleh seorang wanita kaya keturunan Cina yang kemudian menikahi seorang tokoh dari Banten.
Menurut Ketua Bidang Sarana dan Sejarah Kepengurusan Masjid Angke Muhammad Abyan Abdillah, di masa perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, khususnya di masa pemerintahan Batavia di tanah ini, Masjid Jami Angke atau Masjid Al-Anwar ini menjadi semacam benteng pertahanan sekaligus tempat melakukan konsolidasi para pejuang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 lima wilayah di Jakarta masih mengalami gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.Â
Di komplek masjid ini pulalah para pemuda pejuang melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dalam mengkoordinasi kegiatan menentang Belanda. Para ulama pun mendorong rakyat untuk menentang penjajah Belanda lewat ceramah-ceramah mereka.
Masjid ini juga digunakan untuk tempat penggemblengan para pemuda pejuang itu untuk melawan pasukan Belanda. Mereka bergerak secara rapih dan terorganisir. Karena segala sesuatunya tersembunyi maka masjid ini selamat dari serbuan pasukan Belanda.
Kini, masjid ini menjadi bangunan pemersatu keanekaragaman budaya, terutama bagi warga di area masjid. Ada aturan yang diberlakukan oleh pengurus masjid ini untuk menyaring setiap kegiatan dan dakwah yang dilakukan di masjid ini agar tidak ada unsur provokasi dan pemecah belah bangsa saat ini.
Saat ini, masjid Al Anwar atau masjid Jami Angke tak hanya menjadi rumah ibadah bagi umat muslim tapi pusat silaturahmi dan kegiatan gotong-royong masyarakat di sekitarnya yang majemuk.
Di sepanjang bulan ramadhan warga melakukan buka puasa bersama dengan membawa sumbangan makanan dari setiap warga sesuai kemampuan yang memberikan. Yang berkumpul bukan hanya warga yang beragama Islam, non muslim pun ikut serta berkumpul dan berkontribusi. Selama bulan ramadhan para remaja dan anak-anak berkeliling kampung di setiap waktu sahur untuk membangunkan warga.Â
Di waktu sahur terakhir menjelang hari raya Idul Fitri mereka menerima hadiah berupa aneka bahan makanan dari warga yang mereka temui saat berkeliling.Â
Kegiatan silaturahmi terbesar dilakukan warga di kampung Angke di hari raya Idul Fitri dimana semua warga dari berbagai agama, suku bangsa dan latar belakang membaur merayakan, saling berbagi berkah lewat makanan.
Keanekaragaman ini sangat disyukuri oleh warga. Ustad Abyan mengatakan bahwa kerukunan dalam kemajemukan menjadi sesuatu yang harus dipelihara oleh warga karena itulah yang akan melestarikan kedamaian di tengah masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI