Bahkan, tiga partai yang ada saat itu tak kunjung bisa memekarkan diri menjadi partai kecil dengan banyak aspirasi baru. Pemilu tidak langsung yang dilakukan oleh anggota DPR-MPR terasa bagaikan formalitas. Betapa tidak, Golkar sebagai partai pengusung Soeharto terlalu digdaya dengan mengikat pilihan para aparatur negara hingga elemen pegawai negeri sipil lainnya untuk tetap berada dalam barisan partai beringin ini.
Dulu, media massa tidak bisa bergerak dan bernafas lega seperti saat ini. Semua media yang berani mengkritik atau membuka aib pemerintah bisa terkena sanksi subversif. Aktifis yang menyerukan keadilan dan protes akan kebijakan Soeharto hanya sebagian saja yang wujudnya masih terlihat hingga era reformasi berakhir.
Lantas, pantaskan Titiek mengatakan era ini lebih parah dari era kepemimpinan sang ayah? Bahkan beberapa mediaf cetak di masa itu, baik lokal maupun internasional, memberikan gelar Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia dari sekian nama pemimpin negara yang terlibat korupsi.
Kini di era digital 4.0 dimana media online dan media sosial merajai jalur transportasi pesan, generasi milenial menjadi komunikator yang sangat kritis mengomentari banyak hal terutama soal politik.
Sayangnya banyak dari mereka yang belum dewasa di era orde baru, bahkan belum terlahir, yang ikut berkomentar membandingkan era saat ini dengan orde baru hanya dari referensi media online atau cerita mulut ke mulut. Mereka yang berada di barisan pendukung 02 inilah sasaran empuk yang mudah diprovokasi mereka yang menggerakkan people power demi membela barisan ini.
Aksi massa, merangsek ke arah aparat, memancing dengan kekerasan untuk dibalas aparat, jika sudah terkena serangan aparat mereka seolah berusaha melarikan diri, playing victim dan menebar informasi ini ke banyak pihak. Itu hanya prediksi saya betapa mudahnya merusak citra baik aparat demi melegitimasi pemerintah saat ini agar terlihat otoriter seperti di era orde baru.
Ya, persaingan dua kubu ini gambaran jelas persaingan pejuang reformasi dengan pelaku orde baru.
Yang membedakan kroni cendana dulu dan masa kini. Sekarang mereka dalam barisan yang berkoalisi dengan partai-partai Islam yang secara nafas pergerakannya lebih mudah disusupi organisasi radikal terlarang seperti HTI dan Khilafah Islamiyah. Habib Rizieq pemegang komando sebagai pemimpin bayangan yang meskipun mengusung Prabowo tapi setiap titahnya harus dipatuhi koalisi.
Barisan ini mengambil posisi sangat berseberangan dalam banyak hal. Dogma agama dan isu PKI dimainkan pula oleh Amien Rais denga slogan 'partai Allah', 'partai setan' dan label "polisi seperti PKI." Makin lengkap kekuatan oposisi yang harus dihadapi petahana saat ini. Dan mereka merdeka berpendapat walaupun menyesatkan. Hoaks di zaman ini bukanlah barang yang langka ditemui.
Kembali lagi pada pertanyaan apakah era Jokowi-JK ini serupa dengan era ordebaru? Mungkin gambaran pemerataan pembangunan hingga ke wilayah Indonesia timur, area perbatasan dan wilayah terpencil lainnya bisa menjawab pertanyaan ini. Betapa selama 32 tahun Soeharto masih banyak desa terpencil yang belum menikmati sarana listrik.
Harga BBM dan bahan baku lainnya di wilayah Indonesia Timur, sebagian Indonesia Barat dan Indonesia Tengah sangat tinggi. Infrastruktur saat itu masih sangat terbatas walau Soeharto diberi gelar 'bapak pembangunan.' Dan yang pasti, sedikit saja mengkritik pemimpin di era itu, pelakunya bisa mendekam di penjara atau hilang tanpa bekas. Itu yang saya ketahui.