Di antara program baru yang ditawarkan petahana Jokowi, ada satu yang menimbulkan kontroversi cukup kuat yakni Kartu Pra Kerja. Jokowi menawarkan pengangguran untuk didata dan diberikan kartu khusus.Â
Selain itu, mereka akan diikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan kerja dan diberikan honor hingga batas waktu yang ditentukan atau saat yang bersangkutan menerima pekerjaan. Yang jadi kontroversi adalah jika mereka belum bekerja, untuk apa honor itu diberikan dan dari sumber dana mana diambilnya?
Ini jadi blunder yang jawabannya sulit dicari oleh masyarakat awam. Dengan provokasi yang kuat dari sana-sini ini justru bisa menggerus elektabilitas Jokowi sendiri malah.
Saya mendengar sebuah partai berjanji akan menghapuskan pajak kendaraan bermotor dan pengurusan perpanjangan Surat Izin Mengemudi. Itu terdengar hebat tapi apakah realistis?
Justru pajak kendaraan bermotor itu selain menambah pemasukan negara untuk infrastruktur jalan dan kepentingan lainnya, itu juga bisa menekan kepemilikan kendaraan bermotor yang semakin tinggi. Di Indonesia khususnya kota-kota besarnya saat ini, jumlah kendaraan bermotor yang ada saja sudah cukup bikin repot polisi lalu lintas dalam hal pengaturan belum lagi kasus curanmor dan polusinya. Tidak realistis kan?
Lantas, apakah Jokowi-Ma'ruf mau menawarkan suatu program yang masih jadi tanda tanya besar dan dikhawatirkan justru akan merugikan negara?Â
Saya melihat sendiri di lingkungan saya, di kanan kiri banyak sekali pengangguran yang sebetulnya bisa dioptimalkan sumber dayanya. Pengangguran itu tidak melulu difokuskan pada kaum milenial atau kalangan pemula dari lulusan baru SMA atau perguruan tinggi.
Sebenarnya yang membuat angka pengangguran tinggi itu juga mereka yang pernah bekerja tetapi terkena PHK atau bekerja dengan kontrak tidak tetap. Mereka rata-rata justru bukan anak muda baru lulus sekolah atau lulus kuliah. Mereka banyak dari batasan usia 30 hingga 45 tahun dan tidak terserap hanya karena nyaris setiap peluang yang ada membatasi usia pelamar di batas yang sangat muda.
Padahal, secara kapasitas mereka punya kemampuan mumpuni. Mereka masih sangat produktif tapi kurang dapat perhatian. Coba naikkan batas penerimaan karyawan yang tadinya hanya sampai usia 27 atau 30 tahun ke usia 40 atau 45 tahun, pasti jutaan tenaga kerja terserap dengan baik!Â
Kaum muda yang baru lulus sekolah pun tak perlu khawatir, buat mereka akan selalu banyak lowongan pekerjaan di manapun terutama dengan label management trainee atau posisi pemula.
Selain itu, saya melihat masih ada outsourcing yang menggaji karyawan jauh di bawah Upah Minimum Regional. Bahkan, ada yang juga tidak memberikan THR. Bahkan, status kontrak kerja mereka pun tidak jelas.Â
Mereka tidak punya batasan sendiri akan hak dan kewajibannya. Itu masih terjadi di banyak tempat. Yang saya herankan, ke mana pengawasan dari kementerian atau Dinas Ketenagakerjaan mengenai hal ini? Padahal, jika itu ditertibkan bisa sangat membantu kesejahteraan para pekerja agara tidak kocar-kacir bekerja lalu berhenti dan mencari pekerjaan lain begitu seterusnya.
Saya sangat setuju pada ide-ide penghapusan outsourcing. Tapi, hal ini perlu didukung dengan regulasi yang mempermudah perusahaan juga. Saat ini banyak perusahaan tak berani merekrut langsung pegawainya dan memilih memakai jasa outsourcing karena rumitnya proses penempatan karyawan dan menghindari beban pemberian pesangon karyawan kelak.Â
Sebetulnya bisa saja perusahaan itu sendiri memakan sistem seperti outsourcing yaitu melakukan kontrak kerja sementara dengan karyawan tertentu tapi tanpa melibatkan pihak lain lagi. Hal ini akan jauh lebih baik karena karyawan tidak akan mendapat pemangkasan gaji sedemikian besarnya lagi dan segala aspirasi karyawan bisa ditampung langsung oleh si perusahaan.
Tapi, beberapa aturan ketenagakerjaan memang mengikat perusahaan untuk memberi hak-hak pesangon pada kondisi tertentu. Peraturan ini yang harus dilonggarkan dalam beberapa hal agar perusahaan tidak lagi memilih jasa outsourcing.
Sebetulnya banyak pekerjaan yang berada di luar bidang industrial seperti kerja relawan sosial, relawan medis, pemandu wisata, pekerja seni, dan lainnya yang tidak terikat kerja tetap. Sebagian mereka ada yang terikat dengan institusi ada pula yang menciptakan sendiri program, instansi, atau komunitasnya.
Apakah kementerian tenaga kerja sudah cukup memberi perhatian terhadap peluang pekerjaan di bidang-bidang ini? Saya rasa masih sangat jauh dari kata maksimal!Â
Menurut saya, dana yang diniatkan untuk honor pengangguran sebaiknya sejak sekarang juga dialihkan kepada kegiatan advokasi menciptakan kerja kreatif secara mandiri dengan peluang-peluang yang ada. Program ini bisa disinergikan antara kementerian tenaga kerja dengan kementerian lainnya yang terkait seperti kementerian pariwisata, kementerian perdagangan, kementerian sosial dan lainnya.
Terimalah dulu pendaftaran pelamar dan pilah klasifikasinya untuk diberikan advokasi sejak saat ini juga. Bukan sekadar teori, praktik sesegera mungkin bukan hanya mendongkrak elektabilitas tetapi secara nyata sudah mengejar visi Jokowi-Ma'ruf itu sendiri kelak.
Saya salut pada upaya Jokowi menciptakan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tapi sayangnya badan ini kurang bersinergi dengan Kementerian Tenaga Kerja. Sebenarnya SDM dan peluang kerja di Indonesia itu sama besarnya dan sebesar kreativitas kita juga menciptakannya.Â
Jadi, jangan dulu terlalu jauh memberi janji, benahi saja yang ada saat ini dengan maksimal. Saya yakin Indonesia akan lebih baik dikelola oleh tangan-tangan yang kreatif. Masih ada waktu nyaris satu bulan, upaya ini masih bisa digaungkan dan di mata saya ini lebih mengena bagi rakyat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H