Kebenciannya terus bertambah dan belum pada titik antiklimaks. Terlalu banyak ucapannya yang justru menjauhkan Amien dari citra politikus cerdas karena terlalu berkiblat pada asumsinya sendiri. Tak ada teori atau hitung-hitungan empiris lagi yang dipakai professor ini. Saya sendiri sampai berusaha mengingat apa dulu saya benar mengidolakan beliau atau itu ilusi saya saja.
'Post power syndrome'... itulah yang menurut saya menjadi salah satu faktor terbesar perubahan seorang Amien Rais. Ia sempat menjadi opinion leader di zamannya. Begitu pentingnya ucapan seorang Amien Rais di hadapan jutaan mahasiswa di kala tahun reformasi. Jika Amien mengatakan "A" maka semua ikut berkata "A", jika Amien mengatakan "berkumpul" maka dengan spontan mereka bergerak untuk berkumpul.
Menakar mana yang lebih dulu, ambisi atau bekal ilmu politik yang ada di diri Amien Rais sangat sulit tapi yang pasti keduanya bekerja dengan hebat membentuk karakter Amien Rais di kancah politik Indonesia. Perjalanan bertahun-tahun di negeri orang sepertinya membuat visi seorang Amien Rais mengenai pemimpin cukup spesifik.Â
Ia cukup setia dengan idealismenya sendiri. Ia akan mengubah segala sesuatunya hingga sama persis dengan visi yang dimauinya. Perlawanan Amien terhadap Soeharto, gerakan reformasi 1998, pembentukan poros tengah di DPR MPR yang mendorong terpilih dan diturunkan kembalinya Gus Dur sebagai presiden, terpilihnya Megawati hingga kini berseberangan dengan Megawati, semua adalah bagian dari egopolitik seorang Amien yang punya visi yang mungkin tak sembarang orang bisa merumuskannya. Saya jadi curiga, andaikan Prabowo kelak terpilih dan dilantik, jangan-jangan posisi Prabowo akan digoyang oleh Amien Rais juga. Bisa jadi cerita Gus Dur terulang lagi, hmmm...Â
Momen reformasi 1998 hanyalah kebetulan di antara aksi membuat perubahan yang dia inginkan. Biarpun begitu, saya tetap mengapresiasi jasa seorang Amien Rais bersama tokoh reformasi lainnya dalam mengantarkan Indonesia ke era nyata demokrasi dimana setiap warga negara kembali lagi kebebasannya dalam berpendapat dan berorganisasi.
Sekuat apapun kharisma Amien dalam perjuangan reformasi, ia tidak terpilih sebagai presiden saat mencalonkan diri di pilpres 2004. Walau saya termasuk yang memilih beliau kala itu, Saya menyadari bukan sosok seperti ini yang dibutuhkan masyarakat untuk menjadi pemimpin negeri. Mungkin Amien ditakdirkan hanya sebagai mentor dengan teori-teori serta strategi-strateginya.Â
Semoga kecerdasan berlebih yang dimiliki seorang Amien Rais tak terus kebablasan dalam mempengaruhi politik praktis yang sedang berlangsung. Saya sebagai rakyat biasa masih butuh orang pintar semacam Amien Rais untuk jadi figur publik.Â
Setidaknya generasi muda termotivasi untuk mengejar pendidikan yang tinggi. Terbayang enaknya jadi orang cerdas, presiden aja bisa dia naikkan dan turunkan... Sekedar mencapai jabatan biasa di kantor atau organisasi jadi terasa receh! Tapi, sikap berlebihan Amien sudah cenderung pada kesombongan. Sayup-sayup saya dengar "wajar lah beliau sombong karena kelewat cerdas, lah kamu apa?..." Saya pun cuma bisa tersenyum miris.
 "Kesederhanaan adalah dasar segala moral dan kebajikan utama manusia. Tanpa kesederhanaan, manusia tidak ada bedanya dengan binatang." -Napoleon Bonaparte-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H