Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ulamaisasi Kriminal, Budaya Baru atau Kamuflase Politik?

24 Desember 2018   00:25 Diperbarui: 24 Desember 2018   12:57 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahar diduga telah melanggar Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 4 huruf b angka 2 Jo Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Pasal 207 KUHP dengan ancaman pidana lebih dari 5 tahun penjara.

Dalam masa penahanan pada kasus ujaran kebencian, Bahar Smith sempat sesumbar memilih membusuk di penjara daripada harus meminta maaf kepada presiden Jokowi. Sepertinya keinginannya terwujud dengan terjadinya pelaporan kasus keiminal berikutnya atas nama dirinya.

Politisasi agama dengan penerapan gelar sudah ada sejak dulu dengan adanya pengkastaan oleh raja seperti yang masih terjadi di India. Di zaman kegelapan di eropa, dimana dewan gereja menjadi acuan politik sebuah negeri, banyak keputusan gereja menjadi sebuah ketetapan politik. Dalam sejarah Islam sendiri politik di tanah arab sering diimplementasikan. Dinasti muawiyah mengukuhkan dinastinya dengan menghancurkan lawan politiknya. Walaupun seiman dan kawan, demi kekuasaan tak ada musuh abadi dan lawan abadi. Semua orang pada pihak yang berlawanan mereka anggap layak untuk dihancurkan. Pola pikir seperti ini yang cenderung melegalkan anarkisme dengan dalih nahi munkar. Perbuatan munkar yang dilakukan kubu sepihak seringkali dianggap mulia. Pemberian gelar pun makin lama makin tidak objektif  karena hanya atas dasar emosi keberpihakan sesaat.

Ironis jika manusia yang diberi gelar ulama beberapa kali justru jauh dari kata panutan. Gelar ulama yang digadang-gadang sebagai kekuatan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden sekaligus jadi jaminan kebaikan justru berkasus. Moral mereka dipertanyakan. Setingkat menunjukan etika baik saja mereka gagal. Lantas apakah gelar ulama itu diberikan sebagai syarat saja? Mengapa harus mereka byang berperilaku kriminal.yang ikut dijuluki ulama? Saya rasa masih banyak ulama sejati yang lebih pantas dijadikan jaminan perekomendasi.

Semoga gelar ulama tak hanya jadi bagian dari kamuflase politik karena bisa menggerus marwah ulama yang semestinya di mata umat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun