Anda pastinya sering mendengar terjadinya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat umum yang gelap dan terisolir. Padahal, lokasi itu lazimnya dilalui orang banyak dan semestinya banyak mata bisa ikut mengawasi.Â
Selain itu pernah juga kan Anda mendengar kasus pembegalan di jalan raya yang tidak terpantau keamanannya, padahal masih dalam ruang lingkup kota besar? Mahasiswi yang sejatinya banyak kegiatan positif di kampusnya seringkali membatasi ruang geraknya hanya karena takut pulang malam sebab maraknya aksi kriminal terhadap perempuan.
Di luar rangkaian kekhawatiran akan aksi kriminal itu, perempuan yang memiliki karakter fisik yang berbeda dengan laki-laki juga seringkali kurang mendapatkan fasilitas infrastruktur yang layak. Semisal, toilet umum yang kurang tertutup rapat, sanitasinya buruk, tak ada tempat sampah bahkan pengelolaan sampah yang mumpuni padahal perempuan butuh sanitasi lebih dari laki-laki khususnya di saat menstruasi atau nifas.Â
Pernahkah juga Anda terpikir seorang ibu yang menggendong bayinya dan harus membuang air kecil dengan toilet seadanya, sempit, tak ada tempat untuk meletakkan bayi sementara? Apakah ia harus menahan kemihnya hanya karena fasilitas untuknya tidak tersedia? Belum lagi penyandang cacat yang menggunakan kursi roda, apakah selalu ada toilet khusus bagi mereka? Ya, infrastruktur yang sudah ada saat ini masih belum sepenuhnya menjamin rasa aman dan nyaman bagi perempuan, anak -anak dan kaum disabilitas.
Di Indonesia, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual yang sebagian kasusnya terjadi di infrastruktur publik. Meskipun pemerintah melalui kementerian PUPR sudah berusaha memahami  kebutuhan pembangunan infrastruktur yang bagi semua kalangan tetapi faktanya masih banyak infrastruktur publik belum memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi perempuan dan kaum yang rentan.
Perjalanan malam untuk beberapa perempuan dan anak perempuan penuh dengan bahaya, seperti halnya juga perjalanan ke pasar, sekolah, universitas atau tempat kerja-resiko pelecehan seksual dan kekerasan seringkali muncul pada perempuan terjadi pada kegiatan sehari-hari mereka di perkotaan dan pedesaan.Â
Ada banyak peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor konstruksi dan transportasi yang didominasi laki-laki, namun ancaman kekerasan, termasuk pelecehan seksual, membuat mayoritas perempuan tidak mempertimbangkan pekerjaan di bidang ini. Pembangunan infrastruktur memiliki peran dalam menciptakan ruang yang aman dan memiliki potensi bagi perempuan untuk maju secara ekonomi.
Dr. Steven Barraclough, Minister Counsellor untuk Investasi Ekonomi dan Infrastruktur, Kedutaan Besar Australia, menekankan bahwa "Infrastruktur merupakan kunci untuk meningkatkan akses ke pendidikan dan layanan kesehatan, serta memperluas peluang ekonomi bagi anak perempuan".
Demikian pentingnya infrastruktur yang layak bagi perempuan dan anak perempuan, selain memberikan rasa nyaman juga bisa mendorong geliat perekonomian lebih baik karena kesempatan kerja bagi perempuan bisa lebih besar. Banyak peluang baik yang dilepas begitu saja oleh perempuan karena alasan keamanan baginya.
Menurut riset dampak jender, Puslitbang Sosekling 2013, ada empat kriteria infrastruktur yang responsif, yaitu: - pemanfaatan universal; dapat dimanfaatkan oleh semua usia dan jenis kelamin dengan segala kondisi fisiknya (termasuk kaum disabel), -keamanan, keselamatan dan kenyamanan; memberikan rasa aman, selamat dan nyaman bagi semua penggunanya, kesetaraan jender untuk kebutuhan mendasar; memberikan kesetaraan aksesibilitas terhadap layanan dasar bagi laki-laki, perempuan, lansia, penyandang disabilitas dan anak-anak, ramah lingkungan; fasilitas yang aman tidak merusak ekosistem lingkungan yang sesuai untuk semua kalangan (inklusif).
Diskusi yang di buka oleh Staf Khusus Presiden, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Dr. Sabine Machl, perwakilan dari UN Women-Asean dan Dr. Steven Baraclough, Minister Counsellor DFAT ini mempertemukan beberapa tokoh perwakilan dari Kementerian PUPR, Komnas Perempuan, Partnership ID, kalangan profesional, masyarakat dan media.
Beberapa hal dikemukakan dalam diskusi ini yaitu adanya nilai-nilai matrilineal dan patrilineal yang mempengaruhi pola kebiasaan maupun norma yang diterapkan di masyarakat yang berpengaruh pada suasana ruang publik. Misalnya, nilai-nilai yang melarang perempuan beraktifitas di luar rumah pada malam hari yang membuat fasilitas publik tidak diciptakan tetap aman dan nyaman buat perempuan di malam hari.Â
Selain itu, ada perubahan nilai-nilai dan karakter ego di masyarakat untuk saling toleransi dalam menggunakan fasilitas publik. Contoh kasus di kursi halte bis ada lansia atau ibu hamil yang membutuhkan kursi untuk duduk belum tentu akan diberikan oleh mereka yang lebih dulu duduk di kursi tersebut.
Pemerintah saat ini sudah membangun banyak infrastruktur yang aman dana ramah bagi kebutuhan perempuan dan anak perempuan tetapi belum semua sudut kota maupun daerah lainnya merasakannya.Â
Tapi satu hal penting yang saya tangkap selain pentingnya infrastruktur yang dibangun yaitu mental positif mau memelihara fasilitas, disiplin dalam pemanfaatan infrastruktur dan rasa toleransi agar semua pihak dapat menikmati manfaat secara adil. Yang terpenting, semoga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dapat ditekan jumlahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H