Mohon tunggu...
Lia Wardah
Lia Wardah Mohon Tunggu... Lainnya - Perantau Baru

Kalo ngomong belepotan, kalo nulis kewalahan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Antara Iman dengan Cinta dan Bodoh

27 Januari 2025   09:38 Diperbarui: 27 Januari 2025   09:45 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda mendengar orang berkata, "Cinta itu bodoh, membuat orang kehilangan akal sehat?" Ungkapan ini sering muncul karena orang melihat cinta hanya dari sisi emosionalnya, yaitu cinta yang buta, tanpa dasar, dan sering kali mengecewakan. Namun, bagaimana jika cinta ini kita bandingkan dengan iman? Apakah iman juga bodoh hanya karena ia melibatkan hati?

Jawabannya jelas tidak. Iman, seperti cinta sejati, bukan berisi perasaan kosong. Iman adalah kombinasi dari keyakinan yang rasional, logika yang mendalam, dan bukti nyata. Untuk memahami ini, mari kita gunakan sebuah analogi sederhana.

Bayangkan Anda naik angkot. Anda tidak mengenal sopirnya. Anda tidak tahu siapa dia, apa latar belakangnya, atau apa motivasinya. Namun, Anda tetap naik dan mempercayainya untuk membawa Anda ke tujuan dengan selamat. Mengapa? Karena Anda tahu dia adalah seorang sopir yang sudah berpengalaman, menjalani pelatihan, dan paham jalur yang harus dilalui.

Kepercayaan ini bukanlah bentuk kebodohan. Kepercayaan Anda lahir dari keyakinan logis berdasarkan fakta dan pengalaman. Anda tahu bahwa sistem bekerja, dan Anda meyakini sopir itu akan melakukan tugasnya dengan baik.

Sekarang, mari kita hubungkan ini dengan iman kepada Allah. Kita percaya kepada Allah bukan karena kita "buta," tetapi karena kita melihat bukti kebesaran-Nya setiap hari. Matahari terbit dan tenggelam tepat waktu tanpa pernah terlambat. Hujan turun, menghidupkan bumi yang kering. Tubuh kita bekerja dengan sempurna, dari detak jantung hingga pikiran kita. Semua ini menunjukkan bahwa ada Zat yang Mahakuasa, yang mengatur alam semesta dengan sangat teratur. Maka, kepercayaan kepada Allah adalah kepercayaan yang logis, yang didasarkan pada bukti-bukti nyata di sekitar kita.

Cinta kepada Allah bukanlah cinta yang bersyarat. Allah tidak membutuhkan ibadah kita, tetapi kita yang membutuhkan-Nya. Allah tidak menjanjikan bahwa setiap doa kita akan langsung dikabulkan, tetapi Dia menjanjikan bahwa setiap usaha kita akan diperhitungkan. Cinta ini adalah cinta tanpa pamrih, cinta yang lahir dari kepercayaan penuh kepada Zat yang tahu apa yang terbaik untuk kita, meskipun kita sering tidak memahami hikmahnya.

Ketika kita mencintai Allah, kita tidak hanya mengharapkan nikmat dunia. Kita juga menerima ketetapan-Nya dengan sabar, bahkan ketika nikmat itu tampak tertunda. Bukankah Allah telah berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah [2]: 216)

Ayat ini mengajarkan kita bahwa cinta kepada Allah adalah cinta yang mendidik kita untuk menerima, untuk percaya, dan untuk bersyukur atas apa pun yang Allah tetapkan, baik nikmat maupun ujian.

Sebagai seorang Muslim, kepercayaan ini dijelaskan melalui rukun iman. Ada enam rukun iman yang menjadi dasar keyakinan kita: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Rukun iman ini bukan sekadar konsep abstrak, tetapi panduan nyata untuk menjalani kehidupan. Melalui iman, kita diajak untuk melibatkan Allah dalam setiap aspek hidup kita, dari cara kita berpikir hingga cara kita berbuat.

Namun, iman bukan hanya soal percaya di dalam hati. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan nyata. Salah satu wujud utama keimanan adalah shalat. Shalat adalah komunikasi langsung kita dengan Allah, Zat yang kita percayai mengatur segalanya. Dalam shalat, kita menunjukkan keimanan kita kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.

Shalat juga menghubungkan seluruh rukun iman. Dalam shalat, kita mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Kita percaya bahwa malaikat mencatat setiap shalat yang kita lakukan. Kita membaca ayat-ayat Al-Qur'an, kitab suci yang diturunkan Allah sebagai pedoman hidup. Kita mengikuti tata cara shalat yang diajarkan Rasulullah SAW, dan kita melaksanakan shalat sebagai persiapan menghadapi hari kiamat. Dalam shalat pula, kita menyerahkan segalanya kepada Allah, karena kita yakin bahwa takdir kita ada di tangan-Nya.

Namun, mungkin ada di antara kita yang masih ragu atau malas untuk shalat. Kita mungkin bertanya, "Mengapa harus shalat lima waktu? Apa pengaruhnya dalam hidup saya?" Pertanyaan ini wajar muncul, terutama jika kita belum memahami kedalaman iman itu sendiri.

Coba renungkan kembali analogi sopir angkot tadi. Anda percaya kepada sopir untuk membawa Anda ke tujuan. Lalu, bagaimana dengan Allah yang menciptakan Anda, memberi Anda kehidupan, rezeki, dan segalanya? Jika kita bisa mempercayai seorang sopir untuk perjalanan singkat, mengapa kita sulit mempercayai Allah untuk perjalanan hidup kita? Shalat adalah bentuk kepercayaan itu. Dengan shalat, kita menyerahkan hidup kita kepada Allah, memohon petunjuk-Nya, dan menunjukkan rasa syukur kita atas nikmat-Nya yang tak terhitung.

Peristiwa Isra Mi'raj adalah bukti nyata bagaimana iman yang kokoh membawa kita kepada kedekatan dengan Allah. Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naik ke Sidratul Muntaha. Dalam peristiwa inilah umat Islam menerima perintah shalat lima waktu langsung dari Allah. Shalat adalah hadiah istimewa yang Allah berikan kepada kita. Dalam shalat, kita memiliki kesempatan untuk berbicara langsung kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan memperbarui iman kita. Shalat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga kesempatan untuk mendekat kepada Sang Pencipta.

Cinta sejati tidak pernah bodoh, begitu pula dengan iman. Iman adalah keyakinan yang lahir dari pengamatan, refleksi, dan pengalaman mendalam. Sama seperti kita mempercayai sopir angkot yang ahli, kita mempercayai Allah yang telah menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya dalam hidup kita.

Namun, iman yang benar tidak berhenti pada kepercayaan saja. Iman harus diwujudkan dalam amal perbuatan, dan shalat adalah wujud paling nyata dari iman itu. Jika Anda masih ragu untuk shalat, coba tanyakan pada diri Anda: Apakah saya benar-benar percaya kepada Allah? Jika ya, mengapa saya tidak mau menyembah-Nya?

Shalat adalah bukti cinta dan keimanan kita kepada Allah. Jadikan shalat sebagai cara untuk memperkuat hubungan kita dengan-Nya, mendapatkan kedamaian jiwa, dan menemukan arah hidup. Dengan iman yang benar, hidup kita akan selalu terarah menuju tujuan yang sejati, yaitu ridha Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat.


Ditulis untuk menyambut Isra Mikraj 1446H/2025M dengan penuh cinta. 


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun