Pernahkah Anda mendengar orang berkata, "Cinta itu bodoh, membuat orang kehilangan akal sehat?" Ungkapan ini sering muncul karena orang melihat cinta hanya dari sisi emosionalnya, yaitu cinta yang buta, tanpa dasar, dan sering kali mengecewakan. Namun, bagaimana jika cinta ini kita bandingkan dengan iman? Apakah iman juga bodoh hanya karena ia melibatkan hati?
Jawabannya jelas tidak. Iman, seperti cinta sejati, bukan berisi perasaan kosong. Iman adalah kombinasi dari keyakinan yang rasional, logika yang mendalam, dan bukti nyata. Untuk memahami ini, mari kita gunakan sebuah analogi sederhana.
Bayangkan Anda naik angkot. Anda tidak mengenal sopirnya. Anda tidak tahu siapa dia, apa latar belakangnya, atau apa motivasinya. Namun, Anda tetap naik dan mempercayainya untuk membawa Anda ke tujuan dengan selamat. Mengapa? Karena Anda tahu dia adalah seorang sopir yang sudah berpengalaman, menjalani pelatihan, dan paham jalur yang harus dilalui.
Kepercayaan ini bukanlah bentuk kebodohan. Kepercayaan Anda lahir dari keyakinan logis berdasarkan fakta dan pengalaman. Anda tahu bahwa sistem bekerja, dan Anda meyakini sopir itu akan melakukan tugasnya dengan baik.
Sekarang, mari kita hubungkan ini dengan iman kepada Allah. Kita percaya kepada Allah bukan karena kita "buta," tetapi karena kita melihat bukti kebesaran-Nya setiap hari. Matahari terbit dan tenggelam tepat waktu tanpa pernah terlambat. Hujan turun, menghidupkan bumi yang kering. Tubuh kita bekerja dengan sempurna, dari detak jantung hingga pikiran kita. Semua ini menunjukkan bahwa ada Zat yang Mahakuasa, yang mengatur alam semesta dengan sangat teratur. Maka, kepercayaan kepada Allah adalah kepercayaan yang logis, yang didasarkan pada bukti-bukti nyata di sekitar kita.
Cinta kepada Allah bukanlah cinta yang bersyarat. Allah tidak membutuhkan ibadah kita, tetapi kita yang membutuhkan-Nya. Allah tidak menjanjikan bahwa setiap doa kita akan langsung dikabulkan, tetapi Dia menjanjikan bahwa setiap usaha kita akan diperhitungkan. Cinta ini adalah cinta tanpa pamrih, cinta yang lahir dari kepercayaan penuh kepada Zat yang tahu apa yang terbaik untuk kita, meskipun kita sering tidak memahami hikmahnya.
Ketika kita mencintai Allah, kita tidak hanya mengharapkan nikmat dunia. Kita juga menerima ketetapan-Nya dengan sabar, bahkan ketika nikmat itu tampak tertunda. Bukankah Allah telah berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah [2]: 216)
Ayat ini mengajarkan kita bahwa cinta kepada Allah adalah cinta yang mendidik kita untuk menerima, untuk percaya, dan untuk bersyukur atas apa pun yang Allah tetapkan, baik nikmat maupun ujian.
Sebagai seorang Muslim, kepercayaan ini dijelaskan melalui rukun iman. Ada enam rukun iman yang menjadi dasar keyakinan kita: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Rukun iman ini bukan sekadar konsep abstrak, tetapi panduan nyata untuk menjalani kehidupan. Melalui iman, kita diajak untuk melibatkan Allah dalam setiap aspek hidup kita, dari cara kita berpikir hingga cara kita berbuat.
Namun, iman bukan hanya soal percaya di dalam hati. Iman harus diwujudkan dalam perbuatan nyata. Salah satu wujud utama keimanan adalah shalat. Shalat adalah komunikasi langsung kita dengan Allah, Zat yang kita percayai mengatur segalanya. Dalam shalat, kita menunjukkan keimanan kita kepada Allah dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Shalat juga menghubungkan seluruh rukun iman. Dalam shalat, kita mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Kita percaya bahwa malaikat mencatat setiap shalat yang kita lakukan. Kita membaca ayat-ayat Al-Qur'an, kitab suci yang diturunkan Allah sebagai pedoman hidup. Kita mengikuti tata cara shalat yang diajarkan Rasulullah SAW, dan kita melaksanakan shalat sebagai persiapan menghadapi hari kiamat. Dalam shalat pula, kita menyerahkan segalanya kepada Allah, karena kita yakin bahwa takdir kita ada di tangan-Nya.