Mohon tunggu...
Lia
Lia Mohon Tunggu... Lainnya - A Science and Pop Culture Enthusiast

Passionate on environment content, science, Korea and Japanese culture.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ancaman Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebagai Tumpuan Ekonomi: Terbelenggu Dilema Kenaikan Cukai Rokok

3 Desember 2023   22:43 Diperbarui: 6 Desember 2023   11:07 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kretek (Sumber: Arah Jabar)

Menurut Wibisono dan Yoandinas (2014), Sigaret Kretek Tangan tersebut mulai diproduksi menggunakan alat pelinting sederhana sejak tahun 1913. Untuk pertama kalinya, kretek ini pula yang berhasil diproduksi secara massal dan tentunya menjadi kabar baik bagi masyarakat sekitar. Pasalnya, produksi kretek ini sekaligus membuka lapangan pekerjaan terutama bagi kaum perempuan.

Tanpa disadari, kehadiran industri kretek yang pertama tersebut memberikan kesempatan bagi para perempuan untuk berkontribusi sebagai tulang punggung keluarga. Setidaknya, perempuan bukan hanya dipandang sebagai ibu rumah tangga tapi juga pemberi nafkah.

Keberlanjutan Industri Kretek Dibelenggu Naiknya Cukai Rokok

Seperti bisnis pada umumnya, industri kretek juga mengalami pasang surut. Dalam buku KRETEK: Pusaka Nusantara, disebutkan bahwa industri kretek mulai menyebar di luar daerah Kudus seperti Pati, Semarang, Blitar, Surabaya, Malang, dan lainnya. Lalu, berkembang pesat hingga mencapai 269 pabrik pada 1933. Artinya, ada puluhan ribu atau bahkan jutaan pekerja yang bergantung pada industri Sigaret Kretek Tangan tersebut.

Pada 2022, jumlah pabrik rokok yang ada di Indonesia mencapai 1.100. Jumlah ini memang menurun drastis ketimbang tahun 2007 yang angkanya mencapai 4.669 unit usaha. Mengutip dari Kemenperin RI, tercatat Industri Hasil Tembakau (IHT) tersebut telah menyerap 5,98 juta tenaga kerja di mana pekerjanya didominasi kaum perempuan, khususnya pada Sigaret Kretek Tangan (SKT).

Banyaknya pabrik kretek yang tutup tersebut tak lepas dari kesadaran masyarakat dan otoritas kesehatan akan bahaya rokok yang selama ini digaungkan. Kondisi inilah yang membuat IHT didera efek ganda, yakni mendorong perekonomian masyarakat tapi juga berefek buruk bagi kesehatan.

Kendati demikian, pencapaian cukai yang meningkat dan memenuhi target membuat pemerintah dan stakeholder terkait mempertahankan keberlanjutan industri kretek tersebut. Hingga detik ini pun, industri kretek menerima begitu banyak tantangan terutama perihal kenaikan cukainya.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) naik rata-rata sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Adapun untuk rokok elektrik dinaikkan rata-rata 15%, sedangkan hasil pengolahan tembakau lainnya berkisar 6%. Kebijakan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 dan 192 Tahun 2022.

Akibatnya, harga rokok kian melambung dan diperkirakan akan menurunkan daya beli konsumen sehingga dikhawatirkan merugikan para petani. Tentunya, jika industri kretek lesu maka akan mendorong ditutupnya pabrik rokok dan memicu peningkatan pengangguran.

Dampaknya, perekonomian dapat terganggu karena sumber devisa negara juga berkurang. Pada akhirnya, efek ganda keberadaan industri kretek menimbulkan dilema dalam penentuan kebijakan.

Pelaku Industri Kretek Butuh Pemberdayaan Skills Secara Khusus

Kenaikan cukai rokok sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sejak tahun 2019 dan sudah masuk dalam skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hanya saja, solusi bagi para pihak yang terdampak terutama petani tembakau memang masih sebatas penekanan impor tembakau. Diharapkan dengan impor tembakau tersebut dapat memaksa penyerapan tembakau lokal secara masif. Alternatif lainnya, pemerintah melalui Dirjen Bea Cukai juga berupaya menyiapkan skema Dana Bagi Hasil dari cukai rokok dengan petani tembakau.

Meski begitu, tetap saja kenaikan cukai tetap membayangi kerugian yang harus diterima petani tembakau ketika industri kretek terancam gulung tikar. Pengurangan tenaga kerja dalam produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) juga perlu diperhatikan mengingat penurunan daya beli rokok dapat mengancam kesejahteraan pekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun