Mohon tunggu...
Lia
Lia Mohon Tunggu... Lainnya - A Science and Pop Culture Enthusiast

Passionate on environment content, science, Korea and Japanese culture.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setiap Insan Itu Berharga dan Layak Bahagia

13 Juni 2023   08:51 Diperbarui: 23 Juni 2023   15:25 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Happy Person Sumber: Pexels

Pandemi Covid-19 yang membuat berbagai sektor bertransformasi ke era digital. Hal ini membuat masyarakat lebih aktif secara online sehingga aktivitas di media sosial pun kian menarik untuk diikuti. Masalahnya, media sosial juga tak lepas dalam menghadirkan kecemburuan sosial. 

Apabila biasanya kehidupan seseorang hanya bisa dijangkau secara langsung, kini semua orang di manapun dan kapanpun dapat mengakses informasi mengenai kehidupan orang lain. 

Dampaknya, muncul rasa insecure karena ketimpangan kehidupan atau perbedaan status sosial pada kelompok tertentu.

Inilah masalah yang saat ini hangat dibicarakan, terutama pada kalangan muda seperti generasi Z. Kesehatan mental, serangkaian peristiwa tersebut pada akhirnya mempengaruhi kondisi psikis seseorang. 

Akibat paparan informasi yang tak terbendung secara terus-menerus, membuat seseorang bisa merasa tertinggal, insecure, hingga paling parah depresi karena membenci dirinya sendiri. 

Riset: Kelompok Muda Rentan Depresi Selama Covid-19

Melansir dari Databoks, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengungkapkan bahwa sebanyak 67% responden mengaku depresi terkait Covid-19. 

Tak hanya itu, World Economic Forum (WEF) dengan Zurich Insurance Group menerbitkan laporan Risiko Global 2021 yang menyebutkan bahwa 80% anak muda di seluruh dunia diterpa penurunan kondisi kesehatan mental selama pandemi Covid-19. 

Tidak sedikit pula yang menilai bahwa generasi muda sekarang ini cenderung "loyo", mudah insecure, atau sering memilih "healing". Wajar saja, mengingat generasi muda menjadi kelompok yang harus mudah beradaptasi di era yang serba dinamis ini. 

Sementara akses informasi terbuka begitu bebas sehingga paparan konten yang overload membuat seseorang merasa lebih kecil akan posisinya.  

Contoh sederhana, si A yang merupakan mahasiswa tingkat akhir dan masih berjuang menyelesaikan skripsi harus membiasakan diri melihat rekannya atau adik tingkatnya yang sudah sukses terlebih dahulu. Itu semua dapat terakses karena cepat dan bebasnya penyebaran informasi. 

Maka, tak mengherankan jika seseorang mudah membanding-bandingkan hidupnya dengan orang lain. Seolah konten-konten di media sosial adalah standar hidup yang harus dipenuhi agar lebih diterima.

Dampaknya, tidak jarang seseorang makin membenci dirinya ketika merasa tertinggal atau kurang sesuai dengan standar sosial yang ada. Kondisi ini sering disebut dengan toxicity dan terkadang memang tidak disadari terjadi. 

Alih-alih terus memikirkan hal tersebut, akan lebih bijak apabila diri sendiri mampu mengenali gejalanya. Berikut beberapa poin penting yang menunjukkan gejala adanya rasa benci pada diri sendiri yang dilansir melalui Hack Spirit.

Ketakutan akan kegagalan 

Perasaan takut akan kegagalan sebetulnya adalah hal yang lumrah, namun hal itulah yang dapat menghambat seseorang untuk tumbuh dan berkembang. 

Rasa takut tersebut menjadikan seseorang memilih untuk bertahan atau menetapkan tujuan dengan target rendah. Hal ini biasanya dilatarbelakangi karena perasaan insecure dan rendah diri karena kurang kompeten terhadap kapasitas diri.

Mudah meminta maaf pada kesalahan kecil

Meminta maaf adalah perbuatan terpuji, tapi tidak halnya dengan sering meminta maaf terutama pada kesalahan-kesalahan kecil. 

Jika ini sering dilakukan, hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang merasa dirinya selalu bersalah dalam bersikap sehingga layak untuk gagal.  

Mudah membandingkan diri dengan orang lain

Membandingkan diri dengan orang lain adalah topik yang cukup sensitif untuk dibahas di media sosial dan menjadi pemicu utama rasa insecure. Tidak banyak orang menyadari bahwa masing-masing manusia memiliki proses hidup yang berbeda-beda. 

Ambil contoh sederhana, dari lahir saja sudah beda baik itu lingkungan, kondisi keluarga, dan sebagainya. 

Sebab itu, kehidupan seseorang di media sosial tidak bisa menjadi tolak ukur akan standar semua orang.  

Sulit menerima pujian

Apabila seseorang telah berhasil mencapai suatu hal dengan caranya sendiri, sudah sepatutnya layak mendapat pujian. Masalahnya, seseorang yang membenci dirinya sendiri justru menolak atau merasa denial dengan pujian tersebut. 

Padahal, ini merupakan suatu bentuk apresiasi pada diri sekecil apapun hasil yang telah didapatkan karena ada proses yang susah payah telah dilewati. 

Butuh pengakuan orang lain di media sosial

Validasi, adakalanya seseorang membutuhkan hal tersebut sebagai bentuk kepercayaan dirinya. Ketika membenci diri sendiri, seseorang akan kesulitan untuk menerima kelebihan atau potensi yang dimiliki sehingga ingin sekali rasanya mendapatkan pengakuan dari orang lain. 

Dengan begitu, ada seseorang yang mengakui keberadaannya atau sesuatu hal yang dimiliki.  

Itulah sejumlah tanda atau gejala bahwa seseorang membenci dirinya sendiri. Perasaan benci akan diri sendiri atau self-hate bukanlah hal yang tak bisa disembuhkan, justru dapat dicegah sejak dini dengan menerapkan self-love. 

Menurut Khoshaba (2012), self-love merupakan kondisi di mana seseorang mampu menghargai dirinya sendiri dengan mengapresiasi diri pada setiap keputusan yang diambil dalam perkembangan secara fisik, spiritual, maupun psikologis. 

Misalnya, yakni seseorang yang berhasil menerima kekurangannya, tapi tidak lupa untuk terus fokus dan berkembang menggapai tujuan hidup.  

Mengutip buku berjudul "A Guide to Self-Love" karya Adriati dkk, ada sejumlah kutipan menarik yang dapat menjadi pembelajaran dalam hidup sebagai berikut ini. 

Aku akan menjadi temanmu yang terbaik, mendampingimu dalam suka dan duka 

Diri sendiri adalah seseorang yang akan menemani kita, dari sejak lahir hingga tiada.

Sudah sepantasnya dia diperlakukan dengan baik, bahkan sebaik mungkin. 

Dialah satu-satunya teman hidup kita dan yang selalu ada baik dalam suka maupun duka. Oleh sebab itu, mari kenali diri kita secara bertahap dan sayangi seutuhnya.  

Menjadi tidak baik-baik saja adalah bukti kita manusia yang berkembang 

Ketika semua hal terjadi tak sesuai ekspetasi, janganlah berkecil hati karena ini merupakan bagian dari proses hidup. Seseorang yang mengalami kegagalan bukanlah akhir, tapi bukti bahwa dia berani mengambil langkah dan mencobanya. 

Dengan berproses, kita mampu berkembang menjadi lebih baik, tangguh, dan kuat sehingga tak apa-apa apabila kita tidak baik-baik saja.

Keberanian merupakan modal awal untuk memulai perjalanan dalam meraih impian 

Apabila merasa jauh atau tertinggal dengan yang lain, beranilah untuk memulai. Niat saja takkan cukup, merasa insecure pun tak berguna. Justru, rasa benci pada diri sendiri dan segala insecure tersebut membuat kondisimu makin terjatuh. 

Tak apa baru memulainya dari sekarang, daripada tidak pernah sama sekali. Tak apa pula baru membuat sedikit perubahan karena sekecil apapun progresnya, itu bagian dari proses kehidupan.

Proses mencintai diri sendiri bukanlah hal yang mudah, tapi setiap orang berhak dan sudah seharusnya melakukan hal tersebut.

Ingatlah bahwa diri sendiri adalah satu-satunya teman sehingga yakinlah padanya karena itulah modal utama dalam menciptakan hal besar dalam tiap kehidupan ini. 

Sebagai manusia yang lahir ke dunia ini, tiap insan itu istimewa dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tiap insan memiliki proses dengan posisi start yang berbeda-beda. 

Maka dari itu, hargailah hidup kita dan teruslah melangkah. 

Terkadang hari terasa berat dan begitu melelahkan, maka istirahatlah. Sadari pula bahwa mencintai orang lain perlu dimulai dengan rasa cinta pada diri sendiri dahulu. 

Jangan sia-siakan diri kamu sendiri karena tiap insan itu berharga dan layak untuk bahagia.

DAFTAR PUSTAKA 

Adriati I, Damajanti I, Gunawan E. 2020. A Guide to Self-Love. Bandung(ID): Institut Teknologi Bandung. 

Databoks. 2021. Masalah psikologis selama pandemi Covid-19. Diakses 25 Januari 2023. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/17/survei-covid-19-menggangu-kesehatan-jiwa-68-orang-depresi 

Khoshaba D. 2012. A seven-step prescription for self-love. Diakses 25 Januari 2023. https://www.psychologytoday.com/us/blog/get-hardy/201203/seven-step-prescription-self-love 

Lachlan Brown. 2022. I don't like myself: 23 ways to overcome a self-loathing mindset. Diakses 25 Januari 2023. https://hackspirit.com/7-signs-youre-self-loathing-and-dont-even-realize-it/  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun