Mohon tunggu...
Lia
Lia Mohon Tunggu... Lainnya - A Science and Pop Culture Enthusiast

Passionate on environment content, science, Korea and Japanese culture.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Malioboro Tak Seindah yang Kukira

14 Januari 2023   23:25 Diperbarui: 14 Januari 2023   23:29 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 5 bulan lebih sudah saya menetap di sini, Yogyakarta atau kerap disapa Jogja. Kota yang katanya "Istimewa" dan memberikan kenangan manis bagi mereka yang merasakannya. 

Dari sekian tempat wisata di Jogja, siapa yang tak kenal Malioboro? Jalan Malioboro, tempat yang pasti hampir dikunjungi semua turis khususnya lokal, termasuk saya. 

Sebagai pendatang di Jogja, saya memang begitu tertarik dengan pesona Malioboro. Namanya sering disebut tiap kali ada yang menyinggung soal Jogja. Ibaratnya, tidak lengkap rasanya kalo datang ke Jogja tanpa mampir ke Malioboro. 

Namun, di sanalah saya menemui angan-angan yang tak semanis kenangan atau ucapan orang-orang. Mohon jangan dihakimi dulu, saya hanya berpendapat dari perspektif lain. 

Dari balik lensa dan media sosial, sudah wajar jika Malioboro tampak estetik dengan nuansa budaya Jawa yang kental. Sayangnya, kenyamanannya tak sebanding dengan keindahan yang dipamerkan. 

Disclaimer dulu, biar orang nggak salah tanggap. Ini hanyalah sekilas pandangan saya dan tidak bermaksud melukai siapapun. Sebuah persepsi di mana ada keramaian, keasrian, perekonomian, dan hiburan yang menyatu tapi ada sudut-sudut lain yang terabaikan. 

Ketika melewati Malioboro, saya cukup kagum dengan deretan toko batik dan souvenir yang berjajar sepanjang jalan. Alunan musik jawa dan eksterior areanya juga serupa dengan budaya lokal. Tampak menenangkan dan estetik untuk dinikmati sejenak sambil menikmati langit Jogja. 

Tapi, seketika itu semua runtuh ketika sampah selalu saja ditemui di setiap sudut jalan, pedagang yang tidak beraturan, pengamen, dan macam-macam lainnya yang makin menunjukkan sisi sesungguhnya area wisata ini. Semrawut!

Saya pikir banyak pelancong mancanegara yang berdatangan di Malioboro, ternyata hanya segelintir. Setelah menengok kondisi sebenarnya, saya pikir wajar saja wisatawan luar negeri tak banyak mengitari area wisata tersebut. 

Jalanan yang macet ketika jam-jam yang sibuk, alunan musik jawa yang berkumandang, keramaian yang kian padat terutama saat weekend, dan beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya membuat makin hiruk pikuk suasananya. Semua suasana tersebut bersatu dan dijamin kenyamanan dan ketenangan tak akan didapatkan ketika di sana. 

Memang bukan sepantasnya mencari ketenangan itu dengan datang ke Malioboro karena pasti sangat ramai. Namun, saya sendiri lebih mengharapkan kenyamanan. Atau, barangkali standar kenyamanan itu yang berbeda dengan orang pada umumnya. 

Sepanjang jalan saya menyusuri Malioboro, saya jadi tertegun sejenak. Jogja yang diagung-agungkan banyak orang ternyata menyimpan kesedihan. Di balik estetika dan kenangan manis yang ditawarkan, Jogja memaksa masyarakatnya hidup "apa adanya" di saat biaya kehidupan sudah tak seramah dulu. 

Jogja terus berkembang dengan pondasi "nerima ing pandum" alias menerima apa yang ada, namun mencekik pula. Agak miris melihat para tukang becak motor di jalanan Malioboro yang berjajar seharian untuk mendapat penumpang. Namun, terkadang agak kesal juga karena jalanan jadi macet, semrawut, dan agak berisik pada jam-jam tertentu. 

Ditambah lagi, dengan beberapa pedagang yang terkadang membuat iba karena kondisi tertentu. Seolah menunjukkan potret bahwa Jogja tak baik-baik saja, Jogja memang tak seindah itu bagi pribuminya. 

Melanjutkan perjalanan untuk menyusuri area lainnya, saya mendapati ada tembok besar yang memisahkan area keraton dengan keriuhan Malioboro tersebut. Rasanya seperti ada kehidupan yang tenang dan megah di dalamnya, sedangkan di luar masyarakatnya berupaya mencukupi hidup dengan mengadu nasib di jalanan Malioboro tersebut. 

Dalam hati, bisakah Malioboro menjadi lebih tertata, tersistem, lebih bersih, dan adil serta nyaman bagi semua orang?

Atau, memang standar Malioboro untuk wisatawan lokal yang sedemikian rupa ya seperti itu saja? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun