Memang bukan sepantasnya mencari ketenangan itu dengan datang ke Malioboro karena pasti sangat ramai. Namun, saya sendiri lebih mengharapkan kenyamanan. Atau, barangkali standar kenyamanan itu yang berbeda dengan orang pada umumnya.Â
Sepanjang jalan saya menyusuri Malioboro, saya jadi tertegun sejenak. Jogja yang diagung-agungkan banyak orang ternyata menyimpan kesedihan. Di balik estetika dan kenangan manis yang ditawarkan, Jogja memaksa masyarakatnya hidup "apa adanya" di saat biaya kehidupan sudah tak seramah dulu.Â
Jogja terus berkembang dengan pondasi "nerima ing pandum" alias menerima apa yang ada, namun mencekik pula. Agak miris melihat para tukang becak motor di jalanan Malioboro yang berjajar seharian untuk mendapat penumpang. Namun, terkadang agak kesal juga karena jalanan jadi macet, semrawut, dan agak berisik pada jam-jam tertentu.Â
Ditambah lagi, dengan beberapa pedagang yang terkadang membuat iba karena kondisi tertentu. Seolah menunjukkan potret bahwa Jogja tak baik-baik saja, Jogja memang tak seindah itu bagi pribuminya.Â
Melanjutkan perjalanan untuk menyusuri area lainnya, saya mendapati ada tembok besar yang memisahkan area keraton dengan keriuhan Malioboro tersebut. Rasanya seperti ada kehidupan yang tenang dan megah di dalamnya, sedangkan di luar masyarakatnya berupaya mencukupi hidup dengan mengadu nasib di jalanan Malioboro tersebut.Â
Dalam hati, bisakah Malioboro menjadi lebih tertata, tersistem, lebih bersih, dan adil serta nyaman bagi semua orang?
Atau, memang standar Malioboro untuk wisatawan lokal yang sedemikian rupa ya seperti itu saja?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H