Atau, adakah kiranya mereka menjual ramuan peningkat rasa syukur? Karena selain sedikit-sedikit pegal, aku juga sering sedikit-sedikit mengeluh. Hhh.
Lamunanku terhenti ketika Alif menemukan tempat makan yang pas. Kami makan siang empek-empek di sana dengan harga yang fantastis. Tahu begitu aku tadi tidak pesan dua empek-empek kapal selam, ya... aku sampai khawatir apakah sisa uangku nanti cukup untuk membeli makanan yang lain karena banyak jajanan menggoda di sana.
Selama makan, Alif sempat menggerutu sebab kedai Kopi Tak Kie yang jadi incarannya sudah tutup. Karena aku tidak ngopi, aku tanya padanya apa yang istimewa dari kopi itu. Dia bilang sebenarnya biasa saja, tetapi rasanya autentik. Waktu kutanya lagi autentik yang seperti apa, dia tidak menjawab banyak.
Aku jadi bingung. Sebab rasa yang kutahu hanyalah enak dan tidak enak. Memangnya ada kopi dengan rasa palsu? Kenapa rasa makanan dan minuman zaman sekarang bisa terdengar seperti janji mantan, ya? Terpercaya ketika di awal-awal kemesraan, menjadi dusta ketika sudah tidak lagi bergandengan.
Setelah puas ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, kami beranjak ke tempat-tempat jajanan yang sudah sejak awal aku incar. Aku sebenarnya ingin membeli permen-permen Cina, tetapi aku tidak bisa membaca Hanzi. Aku takut jadi dongkol kalau sudah terlanjur beli ternyata rasanya tidak enak. Mau tanya ke penjualnya, ternyata bicaranya logat Betawi campur Jawa.
Karena sungkan, akhirnya pilihanku jatuh pada kue Monas. Tahu, kan, kue apa? Itu, lho, jajanan legendaris yang bentuknya biskuit mini dengan icing sugar warna-warni di atasnya. Icing sugar-nya bentuknya seperti puncak Monas, makanya dari dulu aku menyebutnya kue Monas warna-warni.
Sebelum pulang, aku sempat iseng bertanya pada Alif, "Di sini ada wihara enggak, ya?"
"Ada. Masuk agak dalam ke pasar tapi. Mau ke sana?"
Aku mengangguk riang.
Setelah sempat berputar-putar mencari jalan, akhirnya kami sampai di Wihara Dharma Bakti Glodok. Tempatnya lumayan luas juga. Aku pikir wiharanya kecil seperti di kampung halamanku. Eh, tapi yang di tempatku kelenteng ding. Bukan wihara.