Sebenarnya ini cerita yang sudah agak lama.
Berawal dari teman kuliahku, Alif, yang datang ke Jakarta pada Desember 2019 lalu dan numpang menginap di tempatku. Sekalian melepas rindu, katanya, hehehe... kebetulan waktu itu aku juga belum lama resign dari perusahaan sebelumnya jadi ada waktu untuk menemaninya jalan-jalan (walau ujung-ujungnya kami lebih banyak rebahan di kasur saking magernya, hahaha).
Tapi aku bersyukur akhirnya kami jadi keluar juga setelah Alif iseng merekomendasikan kawasan pecinan di area Pasar Glodok. Aku yang dari dulu memang suka dengan hal-hal kultural langsung mengiyakan, pun menjadi yang paling semangat ketika mau berangkat.
Jujur, walau sudah tinggal di Jakarta sejak akhir Februari 2019, aku belum banyak mengenal kota ini karena jarang main ke luar (kemageran ini harus kubunuh di tahun 2020!). Bersama Alif pula aku jadi punya pengalaman pertama naik bus Transjakarta. Aku malah jadi ketagihan meski kaki pegal-pegal dan kadang harus berdiri dempet-dempetan kalau bus sedang ramai penumpang. Tapi berkat pengalaman ini aku jadi belajar menunggu dan terpacu untuk tepat waktu, juga belajar merelakan tempat duduk untuk mereka yang lebih membutuhkan.
Siang itu kami berangkat menggunakan taksi daring menuju Halte Kebon Jeruk, lalu menunggu di sana agak lama sambil terus memperhatikan orang-orang yang datang dan pergi. Kadang aku suka bertanya-tanya dalam hati, "Mau ke mana si bapak ini? Kenapa ibu tua ini sendirian? Terus apa mbak yang satu ini enggak sakit ke mana-mana pakai sepatu hak tinggi?"
Kalau aku jadi mereka--bekerja di tempat yang jauh--apakah aku akan memiliki ekspresi yang sama dengan mereka? Berdiri, resah, menunggu, atau malah sibuk mengalihkan perhatian ke gawai sambil berharap bus yang dinanti segera datang.
Dari Halte Kebon Jeruk kami berangkat ke Halte Harmoni, lalu menunggu lagi di sana untuk berangkat menuju tempat pemberhentian terakhir di Halte Kota. Selama menunggu, Alif sempat bilang, "Yang bikin capek itu bukan berdiri di busnya, tapi nunggu di haltenya."
Aku mengangguk. Belum juga sampai ke tempat tujuan aku sudah mulai pegal-pegal. Panas, lapar, gelisah... sekujur punggung dan kulit kepalaku sudah lengket karena keringat. Diam-diam aku berharap semoga aku tidak bau ketek. Rasanya ingin kusalami satu per satu para komuter yang saat itu juga sedang melakukan penantian yang sama denganku. Ingin kubilang, "Kalian luar biasa!" tapi nanti aku dikira tidak waras, gimana dong?
Sesampainya di tempat tujuan, hal pertama yang kami cari tentu saja tempat makan. Alif berulang kali mengingatkanku agar berhati-hati karena banyak yang menjual babi. Aku terkekeh. Sejujurnya, saat itu aku berharap dapat mencium bau babi panggang, salah satu aroma kesukaanku yang kutemukan saat masih tinggal di Jayapura dulu. Tidak bisa makan tak apalah, yang penting kenyang dengan aromanya saja sudah cukup, hahaha... tetapi dibandingkan aroma masakan babi, bau dupa justru menguar lebih kuat di sepanjang lorong pasar.
Banyak klinik atau apotek yang menjual obat-obat tradisional di sana. Aku yang juga tertarik soal dunia perpijatan dan pengobatan tradisional rasanya ingin mlipir ke setiap tokonya, mengecek apa saja yang mereka jual di sana, dan bertanya-tanya apakah ada ramuan untuk wanita yang berusia 25 tahun agar tetap segar dan bugar.
Sebab meski belum mencapai kepala tiga, badanku rasanya sudah seperti orang tua. Sedikit-sedikit pegal. Apalagi kalau mau datang bulan, seisi perutku seakan-akan seperti sedang digiling di mesin cuci. Kalau sudah begitu, rasanya ingin tiba-tiba tobat dan berdoa agar Tuhan tidak mencabut nyawaku saat itu juga.
Atau, adakah kiranya mereka menjual ramuan peningkat rasa syukur? Karena selain sedikit-sedikit pegal, aku juga sering sedikit-sedikit mengeluh. Hhh.
Lamunanku terhenti ketika Alif menemukan tempat makan yang pas. Kami makan siang empek-empek di sana dengan harga yang fantastis. Tahu begitu aku tadi tidak pesan dua empek-empek kapal selam, ya... aku sampai khawatir apakah sisa uangku nanti cukup untuk membeli makanan yang lain karena banyak jajanan menggoda di sana.
Selama makan, Alif sempat menggerutu sebab kedai Kopi Tak Kie yang jadi incarannya sudah tutup. Karena aku tidak ngopi, aku tanya padanya apa yang istimewa dari kopi itu. Dia bilang sebenarnya biasa saja, tetapi rasanya autentik. Waktu kutanya lagi autentik yang seperti apa, dia tidak menjawab banyak.
Aku jadi bingung. Sebab rasa yang kutahu hanyalah enak dan tidak enak. Memangnya ada kopi dengan rasa palsu? Kenapa rasa makanan dan minuman zaman sekarang bisa terdengar seperti janji mantan, ya? Terpercaya ketika di awal-awal kemesraan, menjadi dusta ketika sudah tidak lagi bergandengan.
Setelah puas ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, kami beranjak ke tempat-tempat jajanan yang sudah sejak awal aku incar. Aku sebenarnya ingin membeli permen-permen Cina, tetapi aku tidak bisa membaca Hanzi. Aku takut jadi dongkol kalau sudah terlanjur beli ternyata rasanya tidak enak. Mau tanya ke penjualnya, ternyata bicaranya logat Betawi campur Jawa.
Karena sungkan, akhirnya pilihanku jatuh pada kue Monas. Tahu, kan, kue apa? Itu, lho, jajanan legendaris yang bentuknya biskuit mini dengan icing sugar warna-warni di atasnya. Icing sugar-nya bentuknya seperti puncak Monas, makanya dari dulu aku menyebutnya kue Monas warna-warni.
Sebelum pulang, aku sempat iseng bertanya pada Alif, "Di sini ada wihara enggak, ya?"
"Ada. Masuk agak dalam ke pasar tapi. Mau ke sana?"
Aku mengangguk riang.
Setelah sempat berputar-putar mencari jalan, akhirnya kami sampai di Wihara Dharma Bakti Glodok. Tempatnya lumayan luas juga. Aku pikir wiharanya kecil seperti di kampung halamanku. Eh, tapi yang di tempatku kelenteng ding. Bukan wihara.
Alif yang sudah kecapekan memutuskan untuk duduk saja di bawah pohon rindang, sementara aku berkeliling sendirian sampai ke bagian dalam. Aku memperhatikan mereka yang mengantre untuk berdoa sambil membawa dupa. Ada yang kecil dan tipis seperti lidi, ada juga yang besar seperti es Bon Bon. Aku tidak tahu apa bedanya yang jelas keduanya sama-sama dibakar (ya iyalah, kalau tidak dibakar sembahyangnya bagaimana, dong?).
Di dalam, areanya lebih luas lagi dan udaranya lebih keruh. Ada sekitar satu-dua cerobong besar yang tidak henti-hentinya mengeluarkan asap, debu, bercampur abu sisa-sisa pembakaran. Banyak pula patung dewa/dewi berukuran raksasa yang tak kukenal berdiri kokoh di atas altar. Sesaat aku mengamati patung-patung tersebut dan membayangkan jika mereka bisa berbicara, bolehkah aku bertanya sisa waktuku di dunia tinggal berapa lama?
Setelah puas berkeliling di bagian dalam, aku menyusul Alif dan ikut duduk di bawah pohon bersamanya. Kami terdiam cukup lama sambil mengamati orang-orang yang lalu-lalang. Ada sepasang suami-istri tua yang sedang berdoa dengan khusyuk, beberapa petugas yang sibuk membersihkan halaman, dan anak-anak kecil berlarian sambil berteriak riang. Salah seorang petugas keamanan di sana sempat bolak-balik menawarkan diri untuk memotret kami karena dia tahu kami pendatang. Katanya, mumpung lagi ada kesempatan jalan-jalan ke sini, kenapa tidak berfoto sekalian?
Aku menolak. Dalam hati aku berkata, "Kalau aku yang salat di masjid, Bapak bakal tertarikkah untuk selfie dengan latar belakang aku sedang bersujud?"
Sambil mengelap keringat di leher, Alif yang sedari tadi membisu tiba-tiba membuka percakapan, "Itu ada yang mau melepas burung."
Benar saja. Di depan kami ada seorang bapak sedang membawa keranjang bolong-bolong yang tertutup rapat. Dari dalamnya terdengar cuitan burung-burung yang, sepertinya, burung gereja. Tak lama setelahnya, dengan bantuan seorang petugas, bapak itu membuka penutup keranjang tersebut, membiarkan kawanan burung itu terbang bebas ke langit luas.
"Itu ngapain?"
"Enggak tahu. Berdoa kayaknya."
"Bukannya berdoa pakai dupa?"
"Enggak tahu. Kan berdoa bisa macam-macam caranya. Bisa di tempat ibadah, di rumah, di kasur sambil tidur."
Aku terdiam.
"Cara orang berdoa, sembahyang itu simbolis," lanjut Alif. "Sama kayak pakai dupa atau burung. Mungkin pakai dupa sambil berharap supaya asapnya yang terbang bisa ikut mengalirkan doa mereka ke Yang Di Atas? Burung-burung yang tadi juga gitu."
"Terus kira-kira mereka berdoa apa, ya, Lif? Panjang umur?"
"Mbuh. Ya supaya sehat kali. Percuma kalau panjang umur tapi sakit-sakitan."
Kami terdiam lagi hingga beberapa saat. Angin siang itu perlahan mulai menyapu wajah kami dengan lembut, mengeringkan keringat yang mengucur di jidat dari batas anak rambut.
"Lia, kalau aku ke Jakarta lagi, kita ke sini lagi, ya. Duduk-duduk diam aja kayak gini. Tenang rasanya."
Aku menatap Alif sesaat. Pandangannya masih menerawang ke arah orang-orang yang sibuk berdoa dan membakar dupa.
"Iya, nanti kita ke sini lagi."
Detik itu juga, diam-diam di wihara aku berdoa: Tuhan, semoga kami masih diberi umur untuk berjumpa lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H