Mohon tunggu...
Lia Pram
Lia Pram Mohon Tunggu... Freelancer - a writer

"Just life, we're still good without luck. Even if you lose your way, keep taking light steps that make a click clacking sound. Take your time. There's no right, honestly perhaps everyone wants to cry. Maybe they get angry because they don't want to get sad." –Lee Jieun

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tentangmu yang Baru Kutahu Setelah Kepergianmu

8 Januari 2020   12:23 Diperbarui: 8 Januari 2020   12:39 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di pangkuan Mama (dokumen pribadi)

Rabu, 8 Juli 2015

Aku melihatnya untuk yang terakhir kali sebelum wajahnya ditutup sehelai kain kafan. Mata terpejam dengan bulu mata yang panjang. Rona pipi yang pucat seperti perut ikan. Namun seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang ungu membiru. Begitulah kira-kira aku mengingat wajah teduhnya--wajah wanita paling tabah yang pernah kukenal selama 20 tahun hidupku saat itu.

Setelah mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, malamnya aku tidak bisa tidur. Tiada pula setetes air mata pun mengalir keluar dari mataku. Aku hanya bisa berpikir apa yang kira-kira sedang ia lakukan sekarang? 

Benarkah--seperti kata guru agamaku--saat ini ia tengah ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir mengenai perbuatannya semasa hidup? Apakah ia gemetar, menangis, atau justru mampu menghadapi seluruh pertanyaan tersebut dengan tenang seperti saat ia mengetahui aku pernah diam-diam ikut pesta Natal dan menyanyikan lagu gereja bersama teman-temanku? Atau justru tidak ada yang datang bertanya dan membiarkannya tertidur di balik jejeran dipan kecil, beralaskan tanah yang dingin dan lembap, menggigil dan kesepian?

Tidak ada yang benar-benar bisa tidur malam itu. Baik kakakku, adikku, aku yakin mereka hanya berpura-pura terlelap sambil berdoa semoga ia datang malam ini ke alam mimpi, menyambut mereka dengan hangat seperti yang biasa ia lakukan semasa hidup. 

Bapak pun tidak kunjung kembali ke kamar meski waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Ia masih saja duduk di teras depan, ditemani segelas kopi yang sudah mendingin dan sebingkai foto almarhumah tersenyum lembut berbalut kerudung merah. 

Sempat aku berjingkat-jingkat keluar dari tempat tidur dan mengintip. Aku tidak bisa melihat wajah bapakku dengan jelas dari balik pintu. Tetapi dapat kulihat kepulan asap yang memenuhi udara di sekitarnya--tiada habis-habisnya. 

Aku lantas bertanya-tanya, apa tidak sakit menghisap sebanyak itu tanpa henti? Tapi kusadari segera bahwa mungkin sebungkus rokok memang menjadi teman yang lebih baik untuk saat ini ketimbang putrinya sendiri. Jadi aku segera kembali ke kamar dan memutuskan untuk tidur.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Sudah setahun lebih semenjak kepergianmu. Hari ini hari ulang tahunmu. Bapak mengingatkanku pagi ini untuk berziarah karena hari ini seharusnya engkau menginjak angka 52 dalam hidupmu. 

Tetapi hidupmu kini sudah bukan bagian dari hidupku, hidup Bapak, dan hidup semua orang yang masih berada di bumi. Hidupmu kini bukan lagi tentang membangunkan kami untuk menunaikan salat Subuh, menyiapkan sarapan, dan membersihkan rumah sebelum akhirnya berangkat menjalankan kewajibanmu sebagai petugas katering. 

Hidupmu kini sudah sangat berbeda dengan keseharian kami. Kadang-kadang, kalau sedang tidak ingin mengerjakan skripsi, aku suka berpikir, "Apakah selama 50 tahun hidup, engkau bahagia? Apakah rutinitasmu sebagai seorang istri sekaligus ibu dari tiga anak begitu menyenangkan?"

Sebab aku masih suka teringat dengan kata-katamu setiap kali aku merajuk. Aku menangis karena bosan belajar, aku muak dengan angka, dan aku tidak tahan lagi dengan kompetisi. Sepanjang hidupku hingga SMA aku begitu mengejar nilai-nilai terbaik di rapor--yang ketika di bangku kuliah sering kupertanyakan, "Saat itu, apa yang sebenarnya sedang kukejar?" Tetapi engkau selalu mengingatkanku untuk tidak menyerah.

"Kamu pasti bisa," begitu ucapmu setiap kali aku terpuruk. Katamu, kalau nilai-nilaiku bagus, aku bisa masuk universitas yang bagus, sehingga mencari pekerjaan menjadi lebih gampang pula. Lalu, ketika kau sudah mengatakan hal itu, aku akan membalasnya dengan, "Ah. Mama, kan, enggak kerja. Enak, cuma di rumah, bersih-bersih, nonton TV. Kalau urusan katering bukan yang sering bikin juga, lebih sering jadi bendahara."

Kalau sudah begitu, kau akan terdiam sejenak dan menatapku dalam-dalam. Mimik mukamu begitu serius sehingga begitu kau membuka mulut, aku sudah tidak punya kesempatan lain untuk lari dari kegiatan belajar dan bersekolah.

"Kalau bukan karena tugas Bapak yang pindah-pindah kota, Mama sekarang sudah jadi senior di kementrian."

Ya, engkau wanita hebat dengan segudang prestasi. Mahasiswi teladan yang sempat meraih IP 4, diterima di semua instansi yang kau lamar, lalu melepaskan segalanya untuk mengabdi pada suami dan menjadi ibu rumah tangga. 

Aku bahkan masih ingat, ketika akhirnya mendapat izin untuk bekerja oleh Bapak, wajahmu begitu bahagia dan tercermin sedikit kelegaan di binar matamu. Akhirnya, bersama teman-teman kuliahmu, kau membangun usaha katering kecil-kecilan--yang kemudian ikut berakhir selepas engkau pergi.

Bapak bukan orang yang mengekang. Tetapi memang karena tuntutan pekerjaan engkau harus mengalah.

Selama perjalanan menuju pemakaman, aku terus bertanya-tanya, "Apakah hidupmu akan lebih bahagia seandainya engkau tidak hidup bersama seorang lelaki yang sering berpindah-pindah tempat? Apakah selama engkau mengasuhku, kakak, dan adikku, engkau selalu berharap, 'Seharusnya bukan hal ini yang sedang kulakukan sekarang'?"

Di atas pusaramu, aku berdoa dengan sungguh-sungguh, "Semoga, Tuhan, semoga... sekarang mamaku sedang bekerja dengan giat, menjadi karyawan paling berprestasi di surga-Mu, wanita karir teladan, dan menyelesaikan setiap tugasnya dengan bahagia--seperti impiannya semasa hidup."

Maafkan aku yang pernah meremehkan tugasmu sebagai seorang ibu.

Jakarta, 8 Januari 2020

Salam rindu sampai akhir hayatku,

dari putrimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun