Mohon tunggu...
Lianna Putri Sri Musniawati
Lianna Putri Sri Musniawati Mohon Tunggu... Seniman - Penulis, Pelukis, Pembaca

Ars Longa, Vita Brevis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wanita, Cinta, dan Identitas yang Mati

4 Juli 2019   19:52 Diperbarui: 4 Juli 2019   19:59 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meracau wanita kesepian di sudut kamar lusuh berdinding lapuk

Anaknya mengoek nyaring, meremas botol kosong

Tak ada susu, hanya payudara kering meranggas di musim krisis

Tanggal tua

Kata selembar warta, lelakinya barusan mati dilindas kereta

Wanita malang, dulu tak boleh kerja

Sekarangnya menanggung sengsara

Sesal

Berkabung

Mati

Jerit si anak menyembur makin keras lagi

            Sejauh ini tak ada perbedaan sangat menonjol di antara perempuan dan laki-laki kecuali bentuk kelamin. Perempuan dengan vagina, lelaki bersama penis. Hanya berbeda kontur daging serta isi jeroan reproduksi. Tapi ketidaksamaan yang sepele itu berdampak sungguh kejam bagi kaum hawa pada nyatanya.

            Manusia adalah satu entitas yang diciptakan sempurna oleh Tuhan agar masing-masing mampu menggunakan hak otonomnya secara mutlak seperti berdiri menggunakan kakinya sendiri, mengatur jalan cerita hidupnya sendiri, dan tentunya menggambar identitas dengan kreativitas tangannya sendiri-sendiri tanpa campur tangan manusia yang lain (kecuali bayi yang baru lahir). Mungkin Tuhan sedang terbahak di atas sana melihat realitas konyol yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah menemui titik cerah dan malah semakin suram.

            Selalu ada wanita hebat dibalik laki-laki yang sukses. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa pria adalah makhluk yang sama sekali tidak bisa bergerak secara independen. Ia butuh perempuan untuk mencapai sukses, yang artinya perempuan adalah penggerak dasar bagi hidupnya sendiri juga hidup lelakinya. 

Namun dalam ironi, perempuan justru merupakan identitas yang mati ketika seorang lelaki mulai datang mempersunting. Katakanlah ada seorang wanita bernama Sri, dinikahi oleh seorang pria bernama Bruno. 

Lantas di kampung pun panggilan si Sri itu berubah menjadi 'Bu Bruno'. Ada apa dengan nama Sri? Apakah kalah keren dibanding sebutan Bruno? Atau memang seinferior itukah wanita, sampai orang-orang tidak perlu mengenal identitas aslinya setelah ada sesosok laki-laki membelinya pakai sejumput mahar?

            Berbeda dengan kaum adam yang terkesan tidak sanggup mandiri, perempuan malah cenderung bisa mengukir sukses jika tanpa kehadiran laki-laki. Sukses yang saya maksud di sini tentunya adalah kesuksesan yang murni diraih oleh kerja keras sang wanita sendiri, bukan 'dianggap' sukses karena berhasil ikut menguasai harta kekayaan suami (jika sang suami kaya raya). 

Hal itu sangat mungkin terjadi, karena tak ada lelaki berarti kebebasan wanita dalam menapak tangga karir sampai puncak masih mutlak tersedia tanpa gangguan yang disebut rasa posesif.

            "Setiap genius yang dilahirkan sebagai seorang perempuan, ia akan hilang bagi umat manusia," demikian bunyi frase dari Stendhal, salah seorang feminis besar dunia. Menurut saya, pernyataan tersebut tidak terlampau mengejutkan, mengingat banyak sekali musabab yang bisa menghambat perempuan dalam menunjukkan kemampuan serta eksistensinya. 

Sebenarnya segala macam penghambat mulai dari peraturan negara, hukum adat, kebiasaan masyarakat, dan lain sebagainya mampu ditangkis oleh kaum wanita apabila mereka benar-benar mempunyai tekad dan semangat yang kuat. Sangat bisa. Hanya saja, justru ada satu penghalang 'sepele' yang rela diterima oleh kebanyakan perempuan dengan lapang dada -- cinta.

            Hanya ada dua pilihan bagi seorang feminis perempuan yang tetap ingin berdikari ketika fase dewasa telah menyergap, yaitu cukup mencintai dan berhubungan dengan pria bertipe laissez-faire, atau melajang sampai mampus. Kembali ke masalah keposesifan. Tentunya rasa posesif dari seorang pria dapat menghalangi jalan wanita mandiri untuk maju. 

Bayangkan saja, ke mana pun si perempuan pergi, sang lelaki akan bertanya macam-macam, melarang ini itu, mengekang dengan otoritasnya yang menyebalkan. Selama ini banyak kita jumpai wanita-wanita bertalenta cuma berdiam diri di rumah agar suaminya merasa dihargai sebagai tulang punggung keluarga. Para perempuan seperti itu jauh lebih rela bakat-bakat emasnya terkubur begitu saja ketimbang harus kehilangan cinta pria-pria mereka. 

Sangat disayangkan. Sedang mencari lelaki laissez-faire pun tidak mudah. Dalam seumur hidup saya, dahulu baru ada satu orang pria laissez-faire yang bisa membuat saya benar-benar jatuh cinta, tak pernah membatasi ruang gerak saya, namun sudah sejak lama kami berpisah. 

Beruntung, sekarang saya mendapatkan ganti seorang lelaki lain yang meskipun cukup posesif tapi pikirannya maju dan tidak kolot dengan hak saya sebagai manusia -- yang kebetulan berjenis kelamin perempuan. 

Saya bersyukur, karena faktanya tak banyak laki-laki terutama di Indonesia, yang tidak menderita keterbelakangan pikir dengan menganggap bahwa tujuan wanita hidup hanyalah untuk macak, masak, lan manak.

            Perempuan dan laki-laki yaitu sama -- masing-masing punya satu tubuh serta diberi kendali yang utuh. Sama-sama manusia, yang menurut Abraham Maslow pasti menginginkan kebutuhan akan aktualisasi diri yang dikatakan sebagai bentuk pencapaian tertingginya kehidupan. 

Bagi para wanita, jalan hidup adalah pilihannya sendiri. Apakah ia ingin hidup dengan benar-benar hidup, atau hidup sekadar guna menjadi budaknya kaum lelaki yang mereka cintai nantinya -- yang kemudian mati, terkubur tanpa meninggalkan jejak identitas pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun