Mohon tunggu...
Ni Putu Lia Agustini
Ni Putu Lia Agustini Mohon Tunggu... Guru - PPG Calon Guru 2024, Universitas Pendidikan Ganesha

Hobi menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Makna Tri Hita Karana dalam Tradisi Ngider Gita: Harmonisasi Spiritual, Sosial, dan Ekologis di Desa Pakraman Gunung Luwih

30 Oktober 2024   13:26 Diperbarui: 30 Oktober 2024   13:34 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Bali dikenal sebagai pusat kebudayaan dan tradisi yang kaya akan nilai-nilai lokal serta spiritualitas yang kuat. Salah satu tradisi yang masih dijaga dan diwariskan di tengah arus modernisasi adalah tradisi Ngider Gita, sebuah ritual sakral yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Gunung Luwih, Kabupaten Buleleng, Bali. Ngider Gita berasal dari kata "ngider" yang berarti berkeliling, dan "gita" yang berarti nyanyian. Tradisi ini dilakukan dengan melantunkan kakawin atau puisi Jawa Kuno yang sarat makna di setiap pelinggih pura sebagai ungkapan syukur setelah pelaksanaan piodalan atau upacara besar. Dengan menggunakan kakawin seperti Arjuna Wiwaha dan Brata Yudha, masyarakat desa ini tidak hanya melestarikan sastra Bali tetapi juga memperdalam makna kehidupan yang terkandung dalam bait-bait sakral.

Dalam menghadapi perkembangan zaman, tantangan untuk mempertahankan minat generasi muda terhadap budaya lokal menjadi lebih besar. Tergerusnya budaya lokal Bali akibat pengaruh globalisasi membuat pelestarian tradisi seperti Ngider Gita sangat penting untuk menjaga identitas budaya Bali. Desa Pakraman Gunung Luwih menyadari hal ini dan secara aktif melibatkan anak muda dalam tradisi ini melalui pembentukan kelompok sekaa shanti yang rutin melatih mereka dalam membaca dan melantunkan kakawin.

Lebih dari sekadar ritual, Ngider Gita juga menghidupkan prinsip Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Dalam parahyangan, Ngider Gita menjadi media spiritual yang mempererat ikatan masyarakat dengan Tuhan melalui nyanyian kakawin. Dalam pawongan, kegiatan ini memperkuat persaudaraan warga karena pelaksanaannya dilakukan bersama-sama dengan semangat gotong royong. Pada aspek palemahan, pelaksanaan tradisi ini menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan desa dan tempat-tempat sakralnya, membantu menjaga keseimbangan alam. Melalui pandangan ini, Ngider Gita menjadi lebih dari sekadar ritual adat, ini adalah wujud nyata dari kehidupan yang harmonis dan penuh makna di Bali.

Parahyangan: Memperkuat Hubungan Spiritual dengan Tuhan

Dalam aspek parahyangan, Ngider Gita berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan, khususnya di pura yang menjadi pusat spiritual masyarakat Bali. Kakawin yang dinyanyikan dalam tradisi ini, seperti Arjuna Wiwaha dan Brata Yudha, memiliki makna yang mendalam dan mengandung ajaran moral serta etika kehidupan. Setiap bait kakawin yang dilantunkan bukan hanya nyanyian biasa, tetapi dianggap sebagai doa dan ungkapan rasa syukur yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Kuasa.

Ketika masyarakat berkeliling ke setiap pelinggih di pura, mereka melantunkan kakawin sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan dan penghormatan kepada leluhur. Melalui aktivitas ini, masyarakat diingatkan akan pentingnya menjaga hubungan dengan Tuhan dan menunjukkan rasa syukur atas berkat yang diterima dalam kehidupan sehari-hari. Ritual ini menguatkan peran parahyangan sebagai aspek utama dalam hidup mereka, di mana setiap kegiatan spiritual disertai dengan doa-doa yang memancarkan rasa syukur dan kedamaian batin.

Pawongan: Menguatkan Ikatan Sosial di Masyarakat

Dalam aspek pawongan, Ngider Gita memiliki peran penting dalam menjaga harmoni antarwarga. Tradisi ini dilaksanakan secara gotong royong, melibatkan semua anggota masyarakat tanpa memandang usia atau status. Semua orang, mulai dari orang tua hingga generasi muda, bekerja bersama dalam persiapan dan pelaksanaan ritual. Mereka berbagi tugas, mulai dari persiapan perlengkapan upacara hingga proses pelaksanaan Ngider Gita.

Kebersamaan ini menciptakan suasana harmonis dan memperkuat solidaritas antarwarga. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini mengajarkan generasi muda pentingnya kerja sama, toleransi, dan saling menghargai. Dalam prosesnya, Ngider Gita menjadi pengingat bahwa hubungan sosial yang kuat adalah pondasi bagi komunitas yang sejahtera. Dengan bersama-sama menjalankan ritual yang penuh makna, masyarakat Desa Pakraman Gunung Luwih dapat menjaga kebersamaan dan menghindari konflik internal, sehingga kehidupan sosial di desa tetap harmonis dan damai.

Palemahan: Menghormati dan Menjaga Alam Sekitar

Aspek terakhir, palemahan, berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam. Dalam tradisi Bali, alam dianggap sebagai elemen penting yang harus dijaga dan dihormati. Selama persiapan dan pelaksanaan Ngider Gita, masyarakat secara aktif merawat lingkungan pura dan sekitarnya. Mereka membersihkan pura dan mempersiapkan tempat-tempat suci untuk memastikan kelancaran upacara. Dengan demikian, tradisi ini juga mengingatkan masyarakat akan tanggung jawab mereka dalam menjaga lingkungan yang bersih dan suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun