Pulau Bali dikenal sebagai pusat kebudayaan dan tradisi yang kaya akan nilai-nilai lokal serta spiritualitas yang kuat. Salah satu tradisi yang masih dijaga dan diwariskan di tengah arus modernisasi adalah tradisi Ngider Gita, sebuah ritual sakral yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Gunung Luwih, Kabupaten Buleleng, Bali. Ngider Gita berasal dari kata "ngider" yang berarti berkeliling, dan "gita" yang berarti nyanyian. Tradisi ini dilakukan dengan melantunkan kakawin atau puisi Jawa Kuno yang sarat makna di setiap pelinggih pura sebagai ungkapan syukur setelah pelaksanaan piodalan atau upacara besar. Dengan menggunakan kakawin seperti Arjuna Wiwaha dan Brata Yudha, masyarakat desa ini tidak hanya melestarikan sastra Bali tetapi juga memperdalam makna kehidupan yang terkandung dalam bait-bait sakral.
Dalam menghadapi perkembangan zaman, tantangan untuk mempertahankan minat generasi muda terhadap budaya lokal menjadi lebih besar. Tergerusnya budaya lokal Bali akibat pengaruh globalisasi membuat pelestarian tradisi seperti Ngider Gita sangat penting untuk menjaga identitas budaya Bali. Desa Pakraman Gunung Luwih menyadari hal ini dan secara aktif melibatkan anak muda dalam tradisi ini melalui pembentukan kelompok sekaa shanti yang rutin melatih mereka dalam membaca dan melantunkan kakawin.
Lebih dari sekadar ritual, Ngider Gita juga menghidupkan prinsip Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Dalam parahyangan, Ngider Gita menjadi media spiritual yang mempererat ikatan masyarakat dengan Tuhan melalui nyanyian kakawin. Dalam pawongan, kegiatan ini memperkuat persaudaraan warga karena pelaksanaannya dilakukan bersama-sama dengan semangat gotong royong. Pada aspek palemahan, pelaksanaan tradisi ini menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan desa dan tempat-tempat sakralnya, membantu menjaga keseimbangan alam. Melalui pandangan ini, Ngider Gita menjadi lebih dari sekadar ritual adat, ini adalah wujud nyata dari kehidupan yang harmonis dan penuh makna di Bali.
Parahyangan: Memperkuat Hubungan Spiritual dengan Tuhan
Dalam aspek parahyangan, Ngider Gita berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan, khususnya di pura yang menjadi pusat spiritual masyarakat Bali. Kakawin yang dinyanyikan dalam tradisi ini, seperti Arjuna Wiwaha dan Brata Yudha, memiliki makna yang mendalam dan mengandung ajaran moral serta etika kehidupan. Setiap bait kakawin yang dilantunkan bukan hanya nyanyian biasa, tetapi dianggap sebagai doa dan ungkapan rasa syukur yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Ketika masyarakat berkeliling ke setiap pelinggih di pura, mereka melantunkan kakawin sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan dan penghormatan kepada leluhur. Melalui aktivitas ini, masyarakat diingatkan akan pentingnya menjaga hubungan dengan Tuhan dan menunjukkan rasa syukur atas berkat yang diterima dalam kehidupan sehari-hari. Ritual ini menguatkan peran parahyangan sebagai aspek utama dalam hidup mereka, di mana setiap kegiatan spiritual disertai dengan doa-doa yang memancarkan rasa syukur dan kedamaian batin.
Pawongan: Menguatkan Ikatan Sosial di Masyarakat
Dalam aspek pawongan, Ngider Gita memiliki peran penting dalam menjaga harmoni antarwarga. Tradisi ini dilaksanakan secara gotong royong, melibatkan semua anggota masyarakat tanpa memandang usia atau status. Semua orang, mulai dari orang tua hingga generasi muda, bekerja bersama dalam persiapan dan pelaksanaan ritual. Mereka berbagi tugas, mulai dari persiapan perlengkapan upacara hingga proses pelaksanaan Ngider Gita.
Kebersamaan ini menciptakan suasana harmonis dan memperkuat solidaritas antarwarga. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini mengajarkan generasi muda pentingnya kerja sama, toleransi, dan saling menghargai. Dalam prosesnya, Ngider Gita menjadi pengingat bahwa hubungan sosial yang kuat adalah pondasi bagi komunitas yang sejahtera. Dengan bersama-sama menjalankan ritual yang penuh makna, masyarakat Desa Pakraman Gunung Luwih dapat menjaga kebersamaan dan menghindari konflik internal, sehingga kehidupan sosial di desa tetap harmonis dan damai.
Palemahan: Menghormati dan Menjaga Alam Sekitar
Aspek terakhir, palemahan, berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam. Dalam tradisi Bali, alam dianggap sebagai elemen penting yang harus dijaga dan dihormati. Selama persiapan dan pelaksanaan Ngider Gita, masyarakat secara aktif merawat lingkungan pura dan sekitarnya. Mereka membersihkan pura dan mempersiapkan tempat-tempat suci untuk memastikan kelancaran upacara. Dengan demikian, tradisi ini juga mengingatkan masyarakat akan tanggung jawab mereka dalam menjaga lingkungan yang bersih dan suci.
Selain kebersihan fisik, pelaksanaan Ngider Gita di pura dan lingkungan sekitar juga melambangkan penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Tindakan ini mencerminkan pandangan bahwa manusia dan alam harus hidup dalam harmoni. Dengan menjaga kebersihan dan kesucian pura, masyarakat bukan hanya menjaga lingkungan fisik, tetapi juga memperkuat nilai spiritual yang terkandung dalam lingkungan sekitar, memastikan keberlanjutan warisan budaya dan alam untuk generasi mendatang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Tradisi Ngider Gita bukan hanya upacara adat, tetapi juga cerminan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam konsep Tri Hita Karana. Dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan mulai dari hubungan dengan Tuhan, kemudian hubungan sosial, dan penghormatan terhadap alam, Ngider Gita menjadi media yang sangat efektif untuk mempraktikkan prinsip keseimbangan hidup yang diajarkan dalam budaya Bali. Tradisi ini memberi pesan penting bagi kita bahwa harmoni dalam hidup bisa dicapai dengan menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual, sosial, dan ekologis.
Di tengah tantangan modernisasi, mempertahankan tradisi seperti Ngider Gita sangat penting untuk menjaga identitas budaya Bali. Melalui praktik seperti ini, masyarakat tidak hanya melestarikan kebudayaan, tetapi juga mengajarkan kepada generasi muda bahwa kehidupan yang bermakna dapat dicapai melalui pemahaman yang mendalam tentang spiritualitas, rasa kebersamaan, dan kepedulian terhadap alam.
Sumber:
- Budiadnya, I. P. (2018). Tri Hita Karana Dan Tat Twam Asi Sebagai Konsep Keharmonisan Dan Kerukunan. Widya Aksara: Jurnal Agama Hindu, 23(2).
- Gautama, I. M. (2007). Kesusastraan Bali dan Kakawin dalam Kehidupan Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Bali.
- Ranjabar, J. (2006). Pelestarian Tradisi dalam Era Modernisasi. Jakarta: Kanisius.
- Sanjaya, I. G. A. (2019). Peran Tradisi Ngider Gita dalam Pelestarian Kakawin Bali di Desa Pakraman Gunung Luwih, Kabupaten Buleleng. Laporan Penelitian SMA Negeri Bali Mandara.
- Sriasih, N. W., & Mastiningsih, N. N. (2024). Tradisi Unik Dalam Pelaksanaan Pujawali Pura Desa Adat Gunung Luwih Kecamatan Sukadasa Buleleng. Prabha Vidya, 4(1), 10-18.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H