Mohon tunggu...
Lia Fahmi
Lia Fahmi Mohon Tunggu... -

pemakan nasi, peminum air,penyembah Allah SWT, penyayang sesama, penghirup udara, penyebar pesona, pencerah dunia, pecinta cakrawala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pupuk Racun

26 Desember 2016   16:53 Diperbarui: 26 Desember 2016   17:00 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2056, masa dimana sudah tidak ada lagi kaidah bahasa..

Aku tersenyum sendiri saat mendengar pidato seorang manusia yang disebut presiden oleh rakyatnya, ironis atau lucu? Orang nomor satu di Negara Republik Indonesia yang sangat dihargai karena kinerjanya yang gagal meningkatkan perekonomian dan kemakmuran rakyat kini ada di depan mata sedang berbicara dengan lantang di belakang mimbar kebanggaannya. “Nek, apa acaranya masih lama?.” Tiba-tiba suara Prosa membuyarkan lamunanku. “Sabar Cu, kapan lagi kita bisa bertemu presiden sedekat ini? Mungkin pidatonya hanya satu jam setelah itu kita pulang.” Aku berusaha menenangkan cucuku yang sama sekali tidak tertarik dengan acara seformal ini. Maklumlah anak kecil belum mengerti betapa pentingnya bertemu dengan presiden baru yang muda, masih kepala dua. Aku sendiri datang ke acara ini bukan untuk menghormatinya, melainkan untuk mendengarkan pidatonya yang sangat...”Nek, gue bosen!.” Prosa membentak. “Prosa cucu nenek yang baik, nenek mau bercerita pengalaman nenek dulu waktu masih muda, zaman dimana pidato tuh ribet banget dan banyak aturan. Gak kayak Pak Presiden yang sekarang sedang berbicara di depan itu.” Premis terlihat bingung, “Memang ada yang salah sama Om Presiden itu.?” Dia terlihat heran. “Begini ceritanya…”

2016, Zaman ketika etika berbahasa mulai tidak karuan…

O! Itu tak kau lihat tak kau ragu

Peluh dan peluru hujam memburu

Bahasamu bahas bahasanya

Lihat kau bicara dengan siapa

Lidah kian berlari tanpa henti

Tanpa disadari tak ada arti

Bahasamu bahas bahasanya

Lihat kau bicara dengan siapa

Suara lembut penyanyi tanpa ekspresi di atas panggung mengalun merdu dihiasi lampu remang dan segelas minuman bersoda, menyenangkan.

Makna-makna dalam aksara

Makna mana yang kita bela

Berlabuh lelahku

Di kelambu jiwamu

Selalu seperti ini, malam minggu sunyi sepi di sudut kafe aku terpaku sendiri menikmati weekend yang selalu sama setiap week-nya. Entah kenapa kafe ini selalu menyuguhkan band indie yang menyanyikan lagu yang sama disetiap manggungnya. Meskipun sudah ratusan kali mendengar lagu berjudul “Bahas Bahasa” karya band Bara Suara itu, aku tetap menyukainya, dengan permainan kata dan makna yang sangat dalam. “Lidah kian berlari tanpa henti tanpa disadari tak ada arti bahasamu bahas bahasanya lihat kau bicara dengan siapa..”Ah sudahlah, ternyata suaraku tidak sebagus vokalis membosankan itu.

Terkadang aku berpikir, untuk apa lirik lagu dibuat serumit itu? Bukankah lagu dibuat untuk menghibur pendengar? Bukan untuk berpikir keras mencerna kata demi kata disetiap baitnya. Tapi itulah seni, karya yang tidak pernah berkhianat pada tuannya.

“Alin! Alinn! Alineaaa.. Bangun!.” Teriakan ibu dari balik pintu kamar berhasil membangunkanku. “Cepet bangun udah siang, makanya jangan keluyuran malem-malem.. jangan naaajdhacfhiajfsboihaifiaiofh…” tiba-tiba suara ibu tersamarkan, “Hmmm ibu ngomong apaan sih? ngantuk banget nih.” Jawabku malas. Seketika itu aku menoleh ke sebuah benda yang selama ini aku benci, Jam. Arah jarumnya menunjukan pukul tujuh. What?!!! SH*T !!! dengan refleksnya aku mengumpat kasar di depan ibu.

Aku segera bangkit dan bergegas ke kamar mandi tanpa memperdulikan ibu yang sejak tadi marah-marah. Sudah biasa, pikirku. “Alinea! Kamu tuh perempuan tidak boleh berkata kasar seperti itu!.” Kemarahan Ibu berlanjut.

Seperti biasa, suasana kelas sangat kacau dan terlihat berkubu-kubu, di barisan depan khusus kumpulan anak-anak rajin dan berkacamata, para pejuang kurikulum. Di barisan tengah berkacamata juga namun bukan karena kutu buku, melainkan kebiasaan “ngantor”, kata lain dari main gamesyang sudah jadi kebiasaan mereka. Dan kubu terakhir yaitu barisan belakang, habitatku. Tempat semua gossip terkumpul disini seperti pagi ini, dihebohkan dengan fenomena awkarin artis social media yang terkenal karena lifestyle-nya yang urakan,bandel,dan bahasanya... kasar.

Sedetik kemudian Koda si raja gosip menarikku ke kerumunannya, “Alin, lo tau ga si awkarin bikin video curhatan diupload ke youtube eh dia nyablak banget ngomongnya anj*ng, keren deh pokoknya berani banget.” Kata Koda. Hah? Keren? Dia bilang itu keren? “Kodaa.. itu bukan keren, tapi perusak moral anak-anak bangsa, lu tau kan pacarnya penyanyi dangdut duta pancasila yang bahasanya gila malah jadi trendsetter, bentar lagi awkarin juga bakal kayak gitu kalo banyak orang sebego lo yang nganggap itu keren. Inget, bahasamu adalah karaktermu.” Jawabku. Mereka terlihat tidak peduli dengan pendapatku, tidak lama, Premis angkat bicara, “Ah lo jadul banget sih, masa iya kita sebagai ABG harus ngobrol pake bahasa formal saya-anda hahahah terus pake bahasa berat sesuai KBBI segala emangnya baca puisi .” Mereka tampak bersikeras dengan argumennya. Ah susah sekali memperingatkan mereka, sudahlah bukan urusanku.

Benar saja, dari hari ke hari fenomena awkarin semakin menjadi jadi, mulai dari gaya pakaiannya, gaya dandanannya, dan yang paling mencolok adalah gaya bicaranya yang sudah mendoktrin ABG sampai ke anak-anak SD, hewan kebun binatang berkeliaran dimana-mana, seolah-olah lumrah. Ditambah lagi dengan hebohnya wakil rakyat yang diduga melakukan penistaan agama dan seorang motivator yang mulutnya biasa dipakai untuk memotivasi, sekarang malah mensomasi. Semuanya hanya karena satu hal... BAHASA.

Saat ini benar-benar kacau, ketika bahasa menjadi bahaya, dan budaya mulai lenyap, “Kriiing..” tiba-tiba ponselku berbunyi, ada pemberitahuan pesan masuk dari Metafora, teman lamaku.

H@ii aLinea, udach lama Yach qta gax ketemu, Ntar pul4ng squlah maeN yucK ke ruMah Qu, jngan lupa ajak Verba yach, kangend bangetz nich.. see U :)

Tulisan macam apa ini?! Ternyata Meta masih sama seperti dulu, sangat kreatif. Angka dijadikan huruf, tanda baca, penempatan huruf capital, dan masih banyak lagi kekreatifannya . Bayangkan, jika suatu saat semua orang sekreatif Meta hmm.. Mau bagaimana generasi nanti jika bibitnya sudah dipupuk racun sejak dini.?

“Nek!.” Bentakan Prosa menghentikan cerita nostalgiaku dan mengembalikanku ke masa sekarang. “Udah ah ceritanya jijik banget ih ga ngerti deh gue.!” Ceplos Prosa dengan polosnya. Beraninya dia berkata seperti itu kepada neneknya sendiri tanpa kesopanan, inilah 2056, era dimana bibit yang telah dipupuk racun itu kini telah tumbuh. Andai saja dulu budaya berbahasa dipertahankan, mungkin sekarang tidak tenggelam ditelan zaman.. “Ssrrkkk cek cek” tiba-tiba suara nyaring mic milik presiden mengalihkan perhatianku dan seketika itu, sang presiden muda melanjutkan pidatonya…

“Woy rakyat gue! Gue ini presiden, lo semua harus patuh ye sama perintah gue sampe masa jabatan gue abis di tahun 2060, awas loh kalo nggak! Tuh bui nungguin elo tuh mampus deh ..!”

Bibit yang dulu dipupuk racun kini telah tumbuh bahkan…. Menjalar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun