Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mungkinkah Target Sertifikasi Tanah yang Dicanangkan Presiden Tercapai?

1 Juni 2017   12:30 Diperbarui: 15 September 2017   21:06 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokpri

Presiden Joko Widodo menyadari bahwa sampai saat ini, pengurusan sertifikat tanah itu rumit dan mahal. Mungkin hal itu juga merupakan pengalaman pribadi beliau, ketika dulu sebagai pebisnis beliau mengurus masalah pensertifikatan tanah. Oleh karena itu, ketika kini sebagai Presiden, masalah ini mendapat perhatian serius.

Dalam berbagai kunjungannya ke daerah-daerah, masalah ini sering dilontarkan, antara lain ketika berkunjung ke Desa Karang Rejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, pada tanggal 10 Oktober 2016.

"Mengurus sertifikat masih lama. Ini yang akan kita selesaikan, ini yang akan kita benahi. Ini yang akan kita perbaiki sehingga masyarakat nanti terjamin hak-hak kepemilikannya dan penguasaan rakyat atas tanah," ujar Presiden. Presiden kemudian memperingatkan para aparat agar tidak bermain-main dalam melayani masyarakat. Dirinya juga tidak ingin lagi melihat adanya pungutan-pungutan liar yang menyengsarakan rakyat kecil. "Saya peringatkan ya. Hati-hati mulai hari ini. Akan saya pantau, kontrol, cek di setiap kantor dengan cara saya. Jangan lagi ada yang berbelit-belit. Yang gampang dimudahkan, yang mudah dicepatkan. Jangan dibuat ruwet. Apalagi pakai pungli," tegasnya (Sumber).

Pada kunjungan kerjanya tersebut, Presiden kembali mengingatkan untuk mengadakan program sertifikasi tanah bagi masyarakat pedesaan secara besar-besaran. "Saya sudah berikan target ke Pak Sofyan. Minimal 5 juta di tahun 2017. Tahun 2018 minimal 7 juta. Tahun depannya lagi 9 juta. Saya hitung betul," tegas Presiden.

Bisakah target yang diberikan Prseiden tersebut dapat direalisasikan? Jawabannya, apabila budaya kerja aparat BPN masih seperti sekarang, mungkin akan sulit mencapai target tersebut. Paling tidak, ada dua masalah pokok yaitu biaya dan waktu. Hasil penelusuran informasi tentang hal ini, sebagai berikut.

  1. Seluruh besaran biaya layanan pertanahan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam PP ini, standar biaya yang ditetapkan untuk administrasi mengurus tanah yaitu Rp 50 ribu (Sumber).
  2. Sementara itu, waktu pemrosesannya bervariasi antara 38 hari hingga 97 hari untuk sertifikat tanah pertama kali dan untuk sertifikat peralihan membutuhkan waktu lima hingga 15 hari (Sumber).

Apabila kedua hal tersebut diatas menjadi kenyataan, mungkin tidak akan ada lagi keluhan masyarakat dalam mengurus sertifikat tanah. Namun pada kenyataanya, kedua hal tersebut hanyalah pepesan kosong belaka. Sampai-sampai Presiden-pun menyatakan bahwa pengurusan sertifikat tanah itu rumit, lama, dan mahal.

Berikut sebagai contoh kasus, ketika mengurus pensertifikatan tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang, atas tanah yang dibeli oleh anak saya. Proses jual beli dimulai sejak Agustus 2015, kemudian dengan menggunakan jasa notaris diproses pembuatan sertifikat tanahnya.

Setelah melalui berbagai proses panjang, pada tanggal 21 Mei 2016 (setelah 8 bulan) baru dapat diperoleh tanda bukti pendaftaran tanah pertama kali, sebagai berikut :

Sumber gambar: Dokpri
Sumber gambar: Dokpri
Tentang beaya, memang beaya pelayanan pendaftaran tanah pertama kali adalah sebesar Rp. 50.000,- (sebagaimana tertera dalam gambar diatas), tetapi tentu saja masih ada beaya-beaya yang lainnya.

Yang paling membuat jengkel adalah lamanya waktu pengurusan. Sampai dengan saat ini, sudah lebih dari satu tahun sejak didaftarkan, sertifikat belum juga jadi. Padahal seharusnya pemrosesannya hanya membutuhkan waktu 38-97 hari untuk sertifikat tanah pertama kali. Beberapa kali ditanyakan ke kantor notaris, selalu dijawab tinggal menunggu. Dijelaskan bahwa pihak notaris tidak bisa mendesak penyelesaian sertifikat oleh Kantor Pertanahan, jadi yang bisa dilakukan ya hanya menunggu.

Kemudian ketika dicoba ditelusur ke Kantor Pertanahan, sertifikat tanah yang telah didaftarkan setahun yang lalu itu ternyata memang belum jadi.

Kalau proses penerbitan sertifikat tanah itu sedemikian lambannya (padahal administrasinya sudah dibayar lunas), bagaimana mungkin bisa dicapai target yang dicanangkan Presiden sebanyak 5 juta sertifikat di tahun 2017, 7 juta di tahun 2018, dan 9 juta di tahun 2019.

Bagaimanapun, kita sebagai warga masyarakat mendukung penuh reforma agraria yang telah diserukan oleh Presiden Joko Widodo. Mungkin kuncinya perlu reformasi budaya kerja aparatur yang menangani masalah pertanahan, agar mau, mampu, dan responsif dalam melaksanakan program yang dicanangkan pemerintah.

Dengan demikian, akan dapat terwujud apa yang diinginkan Presiden, bahwa proses pengurusan sertifikat tanah dibuat lebih sederhana, mudah, murah, dan cepat, serta aparat yang menangani masalah pertanahan tidak lagi coba-coba melakukan pelanggaran.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun