Pada Idul Adha tahun ini (1437 H) yang jatuh pada hari Senin tanggal 12 September 2016 kemarin, penulis kembali dapat berkesempatan melaksanakan shalat Ied di Masjid Ukhuwwah Islamiah (UI) di Universitas Indonesia (UI) Depok.
Yang menjadi Khatib pada Shalat Idul Adha pada tahun ini adalah Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Ada tiga hal menarik yang dapat dipetik dari khutbah beliau, yaitu:
Idul Adha sangat berhubungan erat dengan ibadah haji. Menunaikan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Illahi. Hanya orang yang memiliki keimanan mendalam dan keinginan kuat yang akan mau menyambut panggilan Illahi itu.
Dalam menjalankan seluruh ibadah, termasuk ibadah haji, harus dengan ihlas, taat, dan hanif (berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah SWT). Dengan demikian akan mendorong seorang hamba untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Sang Pencipta dengan sikap “sami’na wa atho’na” (aku mendengar perintahMu dan aku taat melaksanakannya).
Sikap ini perlu menjadi budaya umat Islam Indonesia, sehingga akan selalu berbondong-bondong memenuhi masjid dan mushala pada setiap panggilan azan sehingga makmur dan bersyiar. Menjadi umat yang berlomba-lomba mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah, sehingga triliunan rupiah dapat terkumpul untuk kemaslahatan umat. Menjadi umat yang hidup dalam kerukunan, kekompakan, dan kebersamaan dengan penuh kasih sayang bersama saudara-saudara seiman, dan bersedia untuk hidup berdampingan secara damai dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, walaupun berbeda suku dan agama.
Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. Tidak lagi jumlah yang berbilang, tetapi mutulah yang berhitung dan diperhitungkan.
Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa. Yang harus diupayakan adalah menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas dengan kualitas, itulah baru menjadi berharga.
Salah satu syarat untuk menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis adalah dengan memiliki kesadaran akan waktu. Bahwa waktu itu penting, maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al Quran adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu, dan bahkan memuat sumpah Allah atas waktu. Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya dengan aksi dan prestasi adalah pangkal kemajuan.
3. Dasa Cita Budaya Maju