Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sholat Idul Adha di Masjid UI

13 September 2016   06:38 Diperbarui: 13 September 2016   17:08 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamaah selesai memunaikan Sholat Id. Gambar: Dokpri

Pada Idul Adha tahun ini (1437 H) yang jatuh pada hari Senin tanggal 12 September 2016 kemarin, penulis kembali dapat berkesempatan melaksanakan shalat Ied di Masjid Ukhuwwah Islamiah (UI) di Universitas Indonesia (UI) Depok.

Yang menjadi Khatib pada Shalat Idul Adha pada tahun ini adalah Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Ada tiga hal menarik yang dapat dipetik dari khutbah beliau, yaitu:

Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin menyampaikan materi khutbahnya. Gambar: Dokpri
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin menyampaikan materi khutbahnya. Gambar: Dokpri
1. Melaksanakan ibadah dengan keihlasan, ketaatan, dan kehanifan

Idul Adha sangat berhubungan erat dengan ibadah haji. Menunaikan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Illahi. Hanya orang yang memiliki keimanan mendalam dan keinginan kuat yang akan mau menyambut panggilan Illahi itu.

Dalam menjalankan seluruh ibadah, termasuk ibadah haji, harus dengan ihlas, taat, dan hanif (berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah SWT). Dengan demikian akan mendorong seorang hamba untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Sang Pencipta dengan sikap “sami’na wa atho’na” (aku mendengar perintahMu dan aku taat melaksanakannya).

Sikap ini perlu menjadi budaya umat Islam Indonesia, sehingga akan selalu berbondong-bondong memenuhi masjid dan mushala pada setiap panggilan azan sehingga makmur dan bersyiar. Menjadi umat yang berlomba-lomba mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah, sehingga triliunan rupiah dapat terkumpul untuk kemaslahatan umat. Menjadi umat yang hidup dalam kerukunan, kekompakan, dan kebersamaan dengan penuh kasih sayang bersama saudara-saudara seiman, dan bersedia untuk hidup berdampingan secara damai dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, walaupun berbeda suku dan agama.

Jamaah sholat Ied mengikuti khutbah dengan hidmat. Gambar: Dokpri
Jamaah sholat Ied mengikuti khutbah dengan hidmat. Gambar: Dokpri
2. Berorientasi kepada kualitas dan dinamika kehidupan

Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. Tidak lagi jumlah yang berbilang, tetapi mutulah yang berhitung dan diperhitungkan.

Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa. Yang harus diupayakan adalah menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas dengan kualitas, itulah baru menjadi berharga.

Salah satu syarat untuk menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis adalah dengan memiliki kesadaran akan waktu. Bahwa waktu itu penting, maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al Quran adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu, dan bahkan memuat sumpah Allah atas waktu. Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya dengan aksi dan prestasi adalah pangkal kemajuan.

3. Dasa Cita Budaya Maju

Bangsa Indonesia ditakdirkan berada dalam latar dan suasana kemajemukan, baik atas dasar agama, suku, bahasa, dan budaya, maupun paham keagamaan dan organisasi kemasyarakatan.

Terhadap sesama muslim perlu dikembangkan persaudaraan ke-Islaman (ukhuwah Islamiah), dan terhadap sesama bangsa dirajut dan dikembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah). Oleh karena itu, paling tidak ada Dasa (Sepuluh) Cita Budaya Maju yang perlu menjadi budaya baru bangsa Indonesia, yaitu:

  • Maju dari kebiasaan mementingkan diri sendiri atau kelompok dengan mengedepankan kepentingan publik dan kepentingan bangsa yang lebih luas;
  • Maju dari tirani perasaan benar sendiri, menjadi anak bangsa yang toleran dan menghargai perbedaan;
  • Maju dari sifat-sifat feodalisme dan primordialisme menjadi egalitarian yang menempatkan sesama anak bangsa dalam posisi dan perlakuan yang sama;
  • Maju dari budaya yang hanya mencela belaka, dengan membangun budaya menghargai upaya dan hasil karya orang lain;
  • Maju dari budaya nepotisme dengan mengedepankan budaya meritokrasi atau prestasi.
  • Maju dari budaya kekerasan menjadi bangsa yang beradab dalam menyelesaikan setiap persoalan;
  • Maju dari kebiasaan korupsi dan mulai bekerja membangun prestasi dan menuai karya dari hasil keringat sendiri;
  • Maju dari ketergantungan dari bangsa lain dan mulai membangun kemandirian nasional, melalui kerjasama internasional yang adil dan saling menguntungkan;
  • Maju dari rasa rendah diri dalam pergaulan antar bangsa dan menjadi bangsa yang berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
  • Maju dari kecintaan pada dunia fana belaka dan mulai menyeimbangkan kehidupan dengan menjalankan ajaran agama yang baik.

Selamat Hari Raya Idul Adha, maaf lahir batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun