Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Nusantara dan Pembangunan Kebaharian Kita

13 Desember 2015   05:04 Diperbarui: 13 Desember 2015   07:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut : ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.

Dalam pengumuman itu, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djoeanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah Negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi, dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.

Tentu saja terjadi reaksi keras dari luar negeri. Banyak komentar yang pedas melalui siaran radio dan pers ditujukan kepada pemerintah RI. Bahkan mulai tanggal 30 Desember 1957 mengalir nota protes diplomatik dari negara-negara maritim besar melalui Departemen Luar Negeri RI. Nota protes diplomatik itu berasal dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958).

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar.

Dengan perjuangan diplomasi yang panjang, akhirnya pada Konvensi Hukum Laut Internasional pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika, yang dihadiri oleh 160 negara menyetujui berbagai konvensi, termasuk yang diusulkan oleh Indonesia mengenai ZEE dan prinsip negara kepulauan. Konvensi itu adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982.

Membangun Kebaharian Kita

Hasil perjuangan pendahulu kita tersebut telah berhasil mengukuhkan wilayah laut kita. Dengan Deklarasi Djoeanda, kita memiliki wilayah laut yang sangat luas, sebesar 5,8 juta km2 atau 3/4 dari total wilayah Indonesia. Dalam wilayah laut tersebut terdapat 17.504 pulau (terbanyak di dunia) dan dikelilingi 81.000 km garis pantai, terpanjang kedua setelah Kanada. Sekarang, mampukah kita mengelola dan memanfaatkan dengan baik wilayah laut itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

[caption caption="Usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil, merupakan usaha pemanfaatan sumber daya laut yang paling banyak dilakukan. Foto : WWF Indonesia"]

[/caption]Kenyataan yang ada sampai saat ini masih belum menggembirakan. Pola pikir masyarakat Indonesia sebagian besar masih daratan sentris, banyak kesempatan bekerja dan berusaha di sektor maritim dihindari karena merasa takut terhadap resiko yang dihadapi. Penguasaan ilmu pengetahuan, riset, serta teknologi kelautan dan kemaritiman belum memadai, sehingga peluang untuk pengembangan ekonomi, industri, dan kesempatan kerja di sektor maritim tidak optimal.

Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kita kurang memperhatikan aspek kelestarian, sehingga banyak terjadi kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Bahkan laut dijadikan tempat pembuangan akhir sampah dan polutan. Pemberantasan illegal fishing belum tuntas. Kesejahteraan penduduk yang menggeluti bidang kemaritiman, khususnya masyarakat pesisir, masih rendah. Keamanan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau terluar dan terdepan belum memadai. Ketangguhan armada Angkatan Laut kita belum ideal untuk menjaga keamanan dan keutuhan NKRI. Dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya.

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia beserta seluruh rakyatnya masih mempunyai banyak PR untuk membangkitkan kembali budaya bahari kita, guna menyelesaikan berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, agar apa yang dicanangkan sebagai tujuan peringatan Hari Nusantara tahun ini dapat terwujud, sehingga pada akhirnya sektor kemaritiman kita dapat diandalkan menjadi sarana guna mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, paradigma pemerintah sekarang yang menitikberatkan kepada konsep kemaritiman, yang diwujudkan dalam program Poros Maritim Dunia, seyogianya tidak hanya menjadi jargon semata sehingga arah pelaksanaan konsep tersebut harus ditujukan kepada hal-hal yang lebih nyata, seperti untuk membangkitkan perekonomian serta mengangkat kesejahteraan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun