Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Laut Sebagai Penyerap Karbon

14 November 2015   05:34 Diperbarui: 14 November 2015   08:05 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ekosistem mangrove di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, salah satu fungsinya sebagai penyerap karbon. Foto : Kompas.com"][/caption]Karbon dioksida (CO₂) merupakan salah satu gas rumah kaca, penyebab utama panas yang terjebak di atmosfer bumi sehingga menjadi pendorong utama perubahan iklim global. Pelepasan karbon akibat pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi tidak hanya berada di atmosfir, melainkan juga terbawa ke biosfer dan laut. Laut mampu menyerap CO₂ tersebut dan menyimpannya sebagai karbon dalam setiap komponennya, terutama pada tiga ekosistem yaitu bakau, rawa pasang surut dan lamun. Mereka menyimpan dan menyerap karbon, baik dalam badan tumbuhan maupun tanah atau sedimen tempat tumbuhnya.

Bahkan, sekitar 50 % dari total karbon yang dilepas diserap oleh laut. Oleh karena itu, laut memainkan peran utama dalam memperlambat laju perubahan iklim global dengan menyerap CO₂ dari atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon. Fakta ini merupakan salah satu manfaat besar laut di era perubahan iklim saat ini.

Bukti ilmiah hingga kini terus bertambah, menguak bahwa ekosistem pesisir dan laut berperan sebagai penyerap karbon (carbon sinks). Jackson (2014) menyatakan bahwa tanah di padang lamun - meskipun kurang dari 0,2 persen dari lautan di dunia - setidaknya menyerap 10 persen dari karbon laut. Sejak itu estimasinya terus meningkat.

Fred Short, ahli ekologi laut University of New Hampshire, menempatkan kisaran terbaru antara 12 dan 20 persen. Apabila dikombinasikan dengan rawa-rawa payau dan hutan bakau tropis, yang secara keseluruhan hanya 2 persen dari luas laut, tetapi terhitung dapat menyerap 50 persen dari kandungan karbon laut. Sebagai perbandingan, hutan terestrial 40 kali lebih luas dibandingkan padang lamun, rawa-rawa pasang surut, dan hutan bakau, namun kemampuan penyimpanan karbon dari 1 ha lamun setara dengan 40 hektar hutan terestrial.

Ocean Health Index (2014) merilis data bahwa mangrove menyerap sekitar 5.000 ton CO2 per kilometer per tahun. Hanya sekitar dua puluh persen yang dilepaskan kembali melalui respirasi. Padang lamun dapat menimbun antara 4,2-8,4 Gt (1 Gt = 1 miliar metrik ton) karbon organik per tahun. Sedangkan sedimen permukaan rawa-rawa payau dapat mengandung 10-15 % karbon.

Terumbu karang juga berperan dalam penyerapan karbon, karena terumbu karang menghasilkan produktifitas primer yang sangat tinggi, sekitar 1500-3500 gC/m2/tahun. Produktifitas primer tersebut berasal dari tumbuhan dan Zooxanthelae yang berasosiasi dengan terumbu karang, yang memiliki kemampuan untuk berfotosintesis sangat besar. Zooxanthelae juga berfungsi menjaga terumbu karang dari berbagai faktor yang merusaknya. Demikian juga organisme kecil yang bernama plankton (fitoplankton) juga memiliki peran dalam siklus karbon di laut, karena kebutuhannya untuk melakukan fotosintesis.

Dari hasil-hasil temuan para ilmuwan tersebut, kini dicetuskan konsep "karbon biru". Dari seluruh karbon biologis yang tersimpan didunia, lebih dari separuh (55%) disimpan oleh organisme atau ekosistem pesisir dan laut, oleh karena itu disebut karbon biru (“blue carbon”).

Karbon biru dalam wujud vegetasi pesisir juga menyerap karbon jauh lebih efektif - hingga 100 kali lebih cepat - dan lebih permanen dibandingan hutan daratan. Substrat sedimen tempat vegetasi ini tumbuh, menyimpan karbon dalam lapisan vertikal yang menebal. Sedimen didasar habitat ini umumnya anoksik (minim/tidak ada oksigen). Dalam keadaan ini, kandungan karbon organik tidak terurai dan hanya dilepas oleh mikroba di dalam sedimen itu sendiri. Keadaan ini berlawanan dengan hutan daratan dimana karbon hanya terpusat di pohon. Apabila tidak dirusak, sedimen pesisir mampu menahan karbon hingga ratusan bahkan ribuan tahun.

Laut Harus Sehat

Laut memang mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk menyerap CO₂ dari atmosfer, namun kemampuannya tergantung dari sehat atau tidaknya laut itu sendiri, terutama sehatnya komponen ekosistem pesisir dan laut yang mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon.

[caption caption="Perairan Raja Ampat, Papua. Perairan laut yang masih sehat. Foto : Kompas.com"]

[/caption]

Sebagai gambaran, Ocean Health Index (2014) membuat skor untuk membandingkan kondisi ekosistem pesisir (hutan bakau, padang lamun, dan rawa-rawa pasang surut) saat ini, dibandingkan terhadap kondisi di awal 1980-an. Skor 100 menunjukkan bahwa seluruh habitat ini masih utuh atau telah dikembalikan ke kondisi yang sama seperti di awal 1980-an. Skor 0 menunjukkan bahwa habitat pesisir penyimpan karbon ini benar-benar habis, sementara skor yang rendah menunjukkan bahwa habitat ini telah menurun secara signifikan sejak tahun 1980 dan harus dilakukan perlindungan dan pemulihan agar dapat menyimpan jumlah maksimum karbon.

Skor saat ini (sebesar 74) menunjukkan bahwa meskipun di banyak tempat, habitat ini tetap sehat dan utuh, namun sejumlah besar menurun secara signifikan sejak tahun 1980. Perlindungan dan pemulihan yang serius harus dilakukan agar memungkinkan mereka menyerap dan menyimpan jumlah karbon secara maksimum.

Jika dilindungi dan diperbaiki, ekosistem pesisir dan laut akan mampu menyerap dan menyimpan karbon. Tetapi jika dihancurkan atau dirusak, ekosistem ini akan menjadi sumber karbon (carbon source), melepas kembali karbon yang telah disimpan berabad-abad ke atmosfer dan laut, dan menjadi sumber gas rumah kaca sehingga justru berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim.

Sayangnya, ekosistem ini termasuk yang paling terancam keberadaanya. Merupakan ekosistem dengan laju perusakan tercepat saat ini, dikesampingkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Secara global 30 % ekosistem pesisir telah mengalami kerusakan.

Apabila perusakan ekosistem ini terus berlanjut, tidak saja karbon yang mereka simpan otomatis terlepas, tetapi juga menyempitnya kawasan ekosistem tersebut berarti hanya sedikit karbon yang mampu diserap dari atmosfir bumi kedepannya.

Ekosistem pesisir dan laut yang sehat menyediakan berbagai manfaat kepada manusia sekarang dan di masa depan. Ini menunjukkan bahwa manusia dan laut harus hidup berdampingan, karena keberadaan dan aktivitas manusia mempengaruhi hampir semua aspek dan kehidupan organisme laut, demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu, diharapkan kelestarian ekosistem pesisir dan laut ini tetap terjaga, karena banyak hal yang disumbangkan oleh laut kepada kita, baik yang kita sadari maupun tidak. Selain itu, dengan terjaganya kelestarian laut diharapkan mekanisme siklus karbon dapat seimbang secara alami. Itu semua tergantung kita, manusia.

(Penyempurnaan artikel : http://www.kompasiana.com/lhapiye/laut-sehat-rem-perubahan-iklim_56145fbcb99373a0048b4567, dari berbagai sumber).

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun